Kemarin gue membaca sebuah berita luar biasa di salah satu surat kabar. Para ilmuwan Inggris telah berhasil menggunakan teknologi audio tercanggih untuk mendengarkan perbincangan para semut (Obbie Mesakh pasti tersenyum sangat lebar membaca berita ini!).
Ya. Jeremy Thomas (seorang ilmuwan dari Oxford, bukan bintang sinetron Indonesia), menggunakan speaker dan microphone mini super sensitif untuk merekam suara ratu semut. Ternyata sesaat setelah rekaman suara tersebut diputar di dalam sarangnya, gerombolan semut yang mendengarkan langsung terdiam dalam posisi siap menyerang musuh. Ia pun mengambil kesimpulan bahwa suara ratu tersebut merupakan sebuah teriakan perintah untuk siaga.
Dengan penelitian yang lebih lanjut, Bapak Thomas percaya bahwa manusia dapat mempelajari kosa kata dan tata bahasa para semut.
Saat membaca berita menakjubkan ini, ada satu pertanyaan yang langsung terlintas di kepala bodoh gue; apa gunanya mempelajari bahasa semut?
Selain atas nama kegemaran manusia untuk selalu nguping perbincangan orang (atau mahluk) lain, serta kebutuhan ilmu pengetahuan yang senantiasa mencari fakta dari semua hal yang ada di sekelilingnya, adakah kegunaan praktis dari penelitian ini buat hidup kita?
Gue mulai berandai-andai...
Mungkinkah suatu saat nanti kita bisa beradu argumen secara baik-baik dengan para semut yang selama ini mengganggu lemari makan kita, hingga mereka bisa pergi dengan sukarela? Bisakah suatu ketika nanti kita memohon bantuan koloni mahluk kecil ini untuk melakukan operasi semut (dalam arti kata sebenarnya) demi membersihkan kota Jakarta yang semakin hari semakin kotor? Dapatkah suatu hari nanti kita berbincang dan menggunakan keahlian para semut untuk mendeteksi penyakit gula dari air seni yang ada di toilet kita? Atau jangan-jangan di masa depan nanti kita bisa memerintahkan para semut untuk berperang melawan mahluk menyebalkan bernama... tetangga sebelah rumah!
Ok. Khayalan gue mulai berlebihan dan semakin tidak penting. Tapi sumpah, gue belum melihat keuntungan maksimal dari kemampuan manusia untuk mendengarkan suara dan bahasa para semut (selain untuk membuktikan pada pencipta lagu 'Semut-Semut Kecil' bahwa suara semut bukanlah oeeek oeek!).
Gue rasa satu-satunya kegunaan artikel ini adalah untuk meyakinkan kita, bahwa dalam hal 'mendengar', manusia memang punya prioritas yang sangat mencengangkan.
Bayangkan saja, di saat teknologi canggih sudah memungkinkan kita untuk dapat mendengarkan suara semut, sebagian besar dari kita masih belum punya kemampuan untuk bisa mendengarkan suara sesama manusia.
How weird is that?
Tentu saja yang gue maksud dengan 'mendengar' di sini adalah lebih dari sekedar kemampuan indera untuk menangkap suara, melainkan mendengar dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Mendengar, mengerti, memahami, bersimpati, berempati, dan semacamnya.
Dari sebuah perbincangan dengan seorang teman yang lebih bijaksana, gue mendapatkan fakta bahwa banyak konflik antar manusia terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak tidak punya kemampuan atau kemauan untuk 'mendengar'. Padahal menjadi good listener adalah salah satu kunci terpenting dalam menjalin komunikasi yang baik (kunci penting yang ternyata sungguh sulit untuk dilakukan!).
Jika Anda ketik 'art of listening' di salah satu search engine, siapkan diri Anda untuk menemukan begitu banyak artikel, buku, quotes, atau materi lain yang membahas tentang bagaimana caranya untuk menjadi pendengar yang baik.
Ada seni mendengar dalam rumah tangga, public speaking, marketing, negosiasi, sosialisasi, bahkan meditasi. Dan nyaris semua tulisan tersebut berusaha menekankan bahwa seni mendengar jauh lebih sulit dikuasai daripada seni berbicara.
Teman gue yang bijaksana tadi juga pernah berkata; "Mungkin sebenarnya manusia diciptakan untuk lebih banyak mendengar ketimbang berbicara, karena itu kita diberi satu mulut dan dua telinga."
Ok, kita bisa berdebat panjang tentang kalimat ini (Salah satunya adalah argumen bahwa dua telinga diciptakan semata untuk urusan estetika serta kebutuhan balancing dan stereonya suara yang kita dengar, lagipula jika hanya diberi satu telinga, harus diletakkan di mana? Di tengah dahikah? Aneh sekali kalau kita harus mendekatkan jidat ke mulut lawan bicara saat ingin mendengar dengan lebih jelas..), tapi satu hal yang sungguh gue setujui, akan ada banyak sekali masalah di dunia ini yang bisa diselesaikan dengan baik jika manusia punya kemampuan prima untuk dapat mendengarkan manusia lainnya.
Karena itu benar-benar menyedihkan sekali, bahwa di koran yang memuat artikel tentang keberhasilan manusia mendengarkan suara semut, ada satu artikel lain yang menggambarkan hilangnya nyawa seorang manusia akibat ulah sekelompok orang yang berteriak onar ketika merasa suara mereka tidak didengar.
Duh..