Jumat, 29 Oktober 2010

IMAN

Khotbah jum'at tanggal 15 Oktober 2010. Masjid Baitu Ula.
Khotib: Ustadz DR. Asep usman ismail.


Kau
ungkapan cinta
mengendap dalam cangkang hatiku
sebagai penentu
pada ikatan langkah
menuju induk segala tujuan

Kau bara apiku
menyala dipuncak pengetahuanku
disumbu yang satu
pada minyak yang padu
menjadi suluh menuju-Mu

Kau detak nadiku, nafas dalam inginku
menjaga ruku' dan khusyu'
penggerak sujud dan tuma'ninah-ku

Kau waktu dan ruang, siang dan malam, jalan tengahku
tawar
hambar
datar
penenang limbungku
penyeimbang bingungku
menghantar ke-terang-Mu


221010

Selasa, 26 Oktober 2010

Wajah Jakarta


Wajah Jakarta adalah bocah-bocah yang hilir mudik memainkan kecrekan sambil menempelkan wajah di jendela mobil pada suatu siang yang panas terik, sementara tak jauh dari situ seorang bayi kurus menggeliat dalam gendongan seorang perempuan di perempatan lampu merah.

Wajah Jakarta adalah tongkat bergagang besi yang mengoreki tempat sampah semen. Pemiliknya adalah pemulung yang harap-harap cemas berebut rezeki dengan kucing gendut, tikus got dan lalat.

Wajah Jakarta adalah aroma menyengat di bantaran sungai yang berbatasan dengan tempat pembuangan sampah dan rumah-rumah berdinding papan. Bila kau pasang telingamu baik-baik, dapat kau dengar dari dalam isakan bocah perempuan yang sudah dua hari panas demam.

Wajah Jakarta adalah pisau dingin berkarat yang dipakai menakut-nakuti pelajar berseragam dan wanita berkalung emas di angkutan kota. Sebuah pelajaran berharga bisa kau petik dari sana: jangan menaruh HP di saku celana, jangan memakai perhiasan di dalam bis, dan simpan dompetmu jauh-jauh di tempat yang tak terogoh.

Wajah Jakarta adalah pengamen yang bernyanyi sumbang di bis oranye sambil menadahkan kantung bekas keripik dan preman yang menadahkan tangan minta uang dengan paksa. Pelajaran berharga kedua: selalu siapkan recehan lebih dari cukup. Kita tak pernah tahu.

Wajah Jakarta adalah kelelahan yang menggurat wajah seorang laki-laki berkemeja lengan panjang dengan map berisi surat lamaran kerja yang mulai lecek setelah ditenteng seharian. Di rumah, anak-istrinya menunggu dengan penuh harap. Hari ini Ayah pasti pulang bawa rejeki.

Wajah Jakarta adalah letusan kembang api yang gegap-gempita membelah angkasa dan bisa kau saksikan dari jarak belasan kilometer pada malam pergantian tahun, yang kata tetangga sebelah, “Nggak mahal kok, delapan juta aja.”

Wajah Jakarta adalah jendela-jendela mobil yang kacanya dihitamkan sehingga mustahil untuk sekadar diintip. Hawa di dalam situ tak pernah segarang terik matahari. Udaranya sejuk dan selalu wangi parfum, dan selalu tersedia air mineral penangkal dahaga jika kau haus.

Wajah Jakarta adalah bocah-bocah berseragam yang menenteng telepon genggam dan permainan elektronik, sementara pengasuhnya berjalan di belakang membawakan tas sekolah, botol minum, dan kotak bekal makanan.

Wajah Jakarta adalah remaja belasan tahun bergaya Harajuku yang sakunya terisi kartu kredit warisan orang tua dan Blackberry seri terkini yang baru saja di-upgrade. Dan jangan lupakan Louis Vuitton KW-1 yang sesekali mereka tenteng dalam gaya yang berbeda.

Wajah Jakarta adalah butik berskala internasional yang dengan mudah kau temui di pusat perbelanjaan raksasa, yang menempelkan label puluhan hingga ratusan juta pada sebuah tas cantik dari kulit.

Wajah Jakarta adalah langkah tergesa kaki-kaki yang dibungkus sepatu berhak tinggi dan pantofel berkilap yang bersanding dengan tangan-tangan menengadah di jembatan penyeberangan.

Wajah Jakarta adalah gemerlap lampu warna-warni yang berpendar diiringi musik menghentak dan cairan merah di gelas-gelas kristal dalam geliat malam yang masih muda.

Wajah Jakarta adalah anak laki-laki berbaju kusam yang menatap iri saat kita bergandengan tangan menyusuri trotoar di sebuah malam minggu sambil makan es krim. Wajah Jakarta adalah senyumnya yang terkembang saat kau gandeng tangan mungilnya ke abang penjual es dan mempersilakannya memilih rasa yang ia suka.

Wajah Jakarta adalah pengemis berkaki buntung yang tak henti-henti mengucapkan terima kasih saat kau cemplungkan selembar ribuan ke gelas plastiknya. Dalam syukurnya ada doa agar panjang umurmu selalu.

Wajah Jakarta adalah anggukan tulus pedagang kaki lima saat kau bayarkan sejumlah rupiah sebagai penglaris jualannya pagi ini tanpa minta kembalian.

Tahukah kau apa yang terlintas di benakku hari ini, saat memandangi Jakarta dan pencakar-pencakar langitnya dari kaca gedung bertingkat tempat kita menghabiskan sembilan jam dalam sehari?

Jakarta sesungguhnya tak pernah miskin. Ia hanya lupa menoleh pada yang terpinggir.

Tinggi pohon tinggi berderet setia lindungi
Hijau rumput hijau tersebar indah sekali
Terasa damai kehidupan di kampungku
Kokok ayam bangunkan ku tidur setiap pagi

Tinggi gedung tinggi mewah angkuh bikin iri

Gubuk gubuk liar yang resah di pinggir kali
Terlihat jelas kepincangan kota ini
Tangis bocah lapar bangunkan ku dari mimpi malam

Lihat dan dengarlah riuh lagu dalam pesta

Diatas derita mereka masih bisa tertawa
Memang ku akui kejamnya kota Jakarta
Namun yang kusaksikan lebih parah dari yang kusangka

Jakarta oh Jakarta

Si kaya bertambah gila dengan harta kekayaannya
Luka si miskin semakin menganga

Jakarta oh Jakarta

Terimalah suaraku dalam kebisinganmu
Kencang teriakku semakin menghilang

Jakarta oh Jakarta

Kau tampar siapa saja saudaraku yang lemah
Manjakan mereka yang hidup dalam kemewahan

Jakarta oh Jakarta

Angkuhmu buahkan tanya
Bisu dalam kekontrasannya

Jakarta oh Jakarta

Jakarta oh Jakarta
( Kontrasmu Bisu - Iwan Fals ) 

(suatu siang, dalam keramaian sebuah Pusat perbelanjaan di jantung ibukota)

Senin, 25 Oktober 2010

Diri

Aku kehidupan yang punya nama, nyawa dan cangkang, dan di kesemuanya engkau tinggal.
Aku kebenaran yang tak perlu dibela; tudungmu siang-malam dari segala tuduhan dan cerca.

Aku ibu yang merawatmu, dan bocah dalam jiwamu tahu, aku ada. Rasakan dekapanku. Rasakan hangatku. Rasakan degup jantung yang berpadu kala aku menimangmu.
Aku ayah yang melimpahimu dengan sayang, dadaku tempatmu bernaung, dan kau tak perlu khawatir akan apa pun.

Aku senangmu kala kau susah, bahagiamu saat kau merana, haru yang melarutkan sengsaramu, tawa yang tersimpan di balik tangismu, riang yang melanda hampamu, dan gembira yang kau bawa saat sulit mendera. Kita berdampingan, karena kita dua yang satu adanya.
Aku geming yang meredakan riuh di benakmu, heningmu saat kau merapuh, dan beningmu saat kau mengeruh, luruh dan tandus.

Aku mata yang mengamatimu sejak kau terjaga hingga terlelap. Kerap kau tak tahu aku ada, namun aku tak pernah beranjak. Aku penontonmu yang paling setia.
Aku telinga yang mendengarkan gemuruh, desau dan bisikan setipis udara pagi yang acap luput kau sadari.
Aku tangan yang menggenggammu aman saat kau tersandung, terjungkal, terperosok.
Aku kaki yang menahanmu kala kau tergelincir dan menyokongmu untuk kembali menapak.

Aku tali tempatmu berpegangan meniti jalan di lingkaran, agar kau tak perlu terbanting hancur.
Aku nyanyian yang membelai telingamu dan mengisi rongga dadamu dengan senandung.
Aku mentari yang mencerahkan matamu dan membimbingmu ke jalan cahaya, aku juga sinar yang menuntunmu ke api yang mereka sebut neraka.
Aku sungai yang mengalir di bawah kakimu, dan di sana engkau bercermin.

Aku air yang membebaskan kerongkonganmu dari dahaga dan membuatmu sejuk.
Aku obat kala kau terkapar sakit, dan penyembuh segala lukamu.
Aku jembatan tempatmu menemukan jalan pulang dan dipan tempatmu beristirahat melepas lelah.
Aku daya yang mengusungmu kala kau terkulai, dan tandu bagi jiwamu.

Aku surga tempat Tuhan bersemayam; kau tak perlu pergi jauh untuk menemuiNya.
Aku kekasih yang bercinta denganmu, dan kita terbakar bersama dalam bara.
Aku cinta yang memberimu nafas untuk tetap hidup, dan engkau akan terus ada.

Aku di sini. Tanpa terbelit ruang dan waktu.

Aku, ya, aku
Selamanya bagimu.


~ Gili, 23 Oktober 2010. Bahkan kata-kata tak sanggup mencengkeramnya. ~

Selasa, 12 Oktober 2010

Pada Satuminggu

Mereka bilang, perpisahan adalah sebuah titik
Bagiku, perpisahan adalah sebuah koma
Yang mengajarku menggurat tanda-tanda lain di kanvas ini

Mereka bilang, perpisahan adalah duka
Bagiku, perpisahan adalah lahirnya jiwa
Ketika sayap yang merapuh kembali menemukan daya

Mereka bilang, perpisahan adalah derita
Bagiku, perpisahan adalah menerima dan memaafkan
Dan dari sana aku belajar mengenal cinta

Mereka bilang, perpisahan adalah akhir
Bagiku, perpisahan merupakan awal
Karena perpisahan mempertemukanku denganmu

Hari ini, genap satu minggu sudah
Kita masih menari, dan kita masih tak tahu
Kemana hidup akan bergulir, kemana hati mengalir

Namun satu hal hatiku tahu
Apa pun yang dihadiahkan hidup pada kita kelak
Perjumpaan denganmu adalah sesuatu yang akan kusyukuri selamanya

~ 13 Oktober 2010, 00:01, Untuk Ruth Mayest Peristi Lesan

Minggu, 10 Oktober 2010

Bahagia Versi Saya


...adalah ketika saya melihat hidup saya, diri saya, apa adanya, dan menyadari tidak ada sesuatu pun yang ingin saya ubah.

Hidup tidak selalu indah. Tapi ia sempurna. Dan untuk itu, kata yang paling pas barangkali hanya "Terima kasih".

Sungguh, Tuhan. Tidak ada yang lain.

.....

Well, setidaknya untuk saat ini. ;-)

Rabu, 06 Oktober 2010

Kamu

Terima kasih untuk menelepon di saat yang sangat tepat. Ketika saya merasa penat dengan segala kegilaan yang terus bergulir; saat saya sedang ingin meninggalkan semuanya untuk mencicipi kehidupan ‘normal’ – sebentar saja.

Don’t be sad,” katamu, padahal saya tak bercerita apa-apa. Mungkin gelombang otak kita sedang berada dalam frekuensi yang sama, atau kemampuan telepati mendadak muncul karena kita saling merindu.

Kamu, ya, kamu. Saya selalu sayang kamu. Saya tahu kamu tahu. Dan terima kasih karena selalu ada.

(Tidak, yang saya maksudkan bukan kehadiranmu secara fisik. Tapi hatimu.)

I love you, Utte.

Dan, ya, saya janji tidak akan terlalu sering merokok dan begadang lagi. :-)