Kamis, 30 September 2010

Veerish

Dua setengah tahun berjuang melawan kanker, akhirnya Verish terpaksa menyerah. Namun, sebagaimana sifatnya yang tertutup dan tidak ingin menyusahkan orang, Dia menyimpan penderitaannya rapat-rapat, bahkan sampai detik terakhir.

Hari itu, untuk kesekian kalinya Ia dibawa ke rumah sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Mama dan Kakaknya. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terbiasa dengan kunjungan rutin ke rumah sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.

Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Dia sambil melambaikan tangan. Ia dengan sweater panjang kesayangannya. Ia dengan kepala dengan rambut yg hampir botak karena rontok, ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar.

Hari itu tanggal 3 Oktober. Dia pergi ke rumah sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.

Saya merelakan kepergian Verish, karena saya lebih memilih kehilangan seorang kekasih ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.

Seolah-olah Verish tidak pernah pergi dari sisi saya. Ia hadir dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya. Ia hadir dalam masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri di bawah selimut dan menghindari dunia.

Seakan-akan Dia ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Semua akan baik-baik saja,” meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.

Ia hadir dalam saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke rumahnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir dalam masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Dia ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar, dan berbisik, “That’s my boy.”

Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.

Setelah hampir satu tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru.

Verish tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.

Verish tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.


“I know you’re listening, Ve. Welcome home.”  

  * * *   

Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: why you have to cry?
   
And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear you whisper: why we have to cry?  

It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be
In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart  

(Back to Heaven's Light - Dewi Lestari)

Rabu, 29 September 2010

Surat Buat Presiden

Bapak Presiden yang Terhormat,

Beberapa minggu lalu, seorang pejabat tempat ibadah mengalami luka berat akibat penusukan yang dilakukan sekelompok orang dari sebuah organisasi pembela agama. Sebelumnya, tempat ibadah yang dilarang berdiri itu sudah menjadi saksi unjuk rasa dan adu jotos kepentingan atas nama agama. Jemaat pun terguncang. Bukan saja mereka kehilangan tempat beribadah, mereka harus menyaksikan orang yang mereka hormati berlumuran darah di depan mata mereka sendiri.

Kemarin, ratusan orang dari sebuah organisasi agama menyerbu sebuah festival film. Mereka mengancam akan membakar tempat itu. Kemudian Bapak Menteri mengeluarkan pernyataan yang membuat kami terhenyak. Kegiatan itu menyimpang dari etika masyarakat, katanya. Kami pun termangu. Sejak kapan preferensi seksual seseorang menjadi tolok ukur etika dan moral masyarakat?

Hari ini, terjadi kerusuhan di Jalan Ampera. Mereka bilang, korban tewas sejauh ini sudah tiga orang. Empat luka-luka. Seorang polisi tertembak. Potongan tubuh terserak di jalan. Jalan ditutup. Kemacetan mengular. Masyarakat diperingatkan untuk menjauhi area itu.

Bapak, saya tak mengerti politik dan tak ingin tahu banyak tentang politik. Saya warga negara biasa yang sudah cukup puas dengan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang baik. Saya yakin di negara ini banyak yang seperti itu. Politik bukan bidang kami, dan barangkali kami memang tak perlu memahaminya, karena seperti yang sering dibilang orang, politik itu bau tai. Kami lebih suka mencium aroma makanan ketimbang kotoran, maka kami serahkan ranah itu kepada orang-orang yang sudah ahli berkecimpung di dalamnya. Namun, kali ini, izinkan kami bersuara.

Bapak, kami marah bukan karena benci. Kami marah karena cinta. Cinta yang kepalang besar bagi pertiwi yang tanahnya sudah kami injak puluhan tahun, yang udaranya kami hirup setiap hari, yang hasil buminya memberi makan mulut-mulut kami.

Prihatin tak lagi cukup, Bapak. Beragam janji dan instruksi tidak lagi mampu membungkam mulut kami, karena kami sudah kenyang dengan janji. Kami lelah menunggu tanpa daya. Kami letih menonton tanpa bisa berbuat apa-apa.

Nyanyian dari bibirmu sudah kami dengarkan, Bapak. Kini kami menanti sesuatu yang lain. Yang bukan cuma bisa kami simpan dalam bentuk kepingan cakram. Yang bukan cuma bisa kami baca di internet, kami lihat di televisi, kami simak di koran, tanpa pernah menghasilkan apa-apa.

Kami tak minta banyak, Bapak. Kami hanya ingin orang yang kami pilih mampu menyediakan keamanan bagi kami. Kami ingin bisa beribadah dengan damai. Kami ingin bisa melalui jalan-jalan kota dengan tenteram. Kami ingin menikmati film dan pergi ke tempat-tempat hiburan dengan leluasa. Kami ingin bebas dari rasa takut dan teror.

Kami ingin pajak yang kami bayarkan digunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan pembangunan negara, karena sekalipun kami hidup berkecukupan, jutaan penduduk Indonesia belum menikmati kehidupan yang layak. Sudah cukup kami merasa pedih melihat uang hasil jerih payah kami digunakan untuk plesiran anggota dewan yang terhormat, sementara jutaan rakyat miskin makan nasi yang sudah kotor setiap hari.

Kami muak dengan kekerasan. Kami muak dengan aksi semena-mena. Kami muak melihat nama Tuhan digadaikan demi hawa nafsu segelintir orang tertentu. Kami sudah lelah mencaci dan menangis.

Bapak, tolong dengarkan kami. Lakukan sesuatu. Bertindaklah agar kami tahu orang yang kami pilih memang layak mengemban kepercayaan kami.

Senin, 27 September 2010

pang | gung



Iya, teman.
Ini panggungku.
Panggung yang kupilih dengan kesadaran penuh.
Yang kujaga dengan kantuk sangat tiap malam.
Berteman dengan ribuan hening.
Berpacu bersama lajunya waktu.
Bersandar pada ludah dan peluh.
Bernyawa oleh denyut lamat.

Iya, teman.
Itu panggungmu.
Yang kauhiasi indah.
Dengan lampu-lampu semarak.
Bak 50 tahun emas Indonesia Merdeka.
Bertaburan intan permata.
Berseliweran oleh domba-domba berdasi.
Berkacak di antara serdadu-serdadu wangi.
Berkacamata dengan silaunya lentera kristal.

Iya teman, kita ada di sandiwara yang sama.

Tapi, entah
mengapa kita berada di sisi panggung yang sangat berbeda....


Terinspirasi oleh:
Kenaikan harga BBM, malnutrisi & busung lapar, krisis listrik & BBM, Perpres Tanah, rekonstruksi-macet Aceh, vonis Nurdin Halid & Adiguna, industri tengik bernama Periklanan, omong kosong Widya 'Pertamina' Purnama, hemat energi ala badut Jusuf Kalla, pertunjukan opera Mahakampung Cinta-nya Guruh & Didi Petet, dan pernikahan Agus & Anissa.

Kamis, 23 September 2010

Teguh Beriman

Guh...
inget gak pas tahun 2002, jaman kita beneran masih ABG--masih kelas 3 SMP! (gak kayak skrg.. NGAKUnya doang masih ABG :p) dan kita berdua jadi juara 3 lomba ngeRAP di My Place discotheque? Huaahahahahaha...bodoh banget..
Pesertanya cuman 4 tim, jelas aja juara 3!!!

Udah gitu jaman itu kita juga lagi suka-sukanya ama Run DMC, Beastie Boys dan...............
Rick Astley!!!? Najis lo Guh...he he he...

Guh...
Inget gak jaman itu elo orgnya tempra banget. Sampe elo sempet ribut gebuk-gebukan sama Iwan Tarjo di kelas pas pelajaran Pak Sum. Atau berantem sama Bamos di depan kantin PKK cewek. (Gue masih inget banget komennya Bamos pas pertama lo pukul.."Aduhh!!! SAKIT GUH!!!" hi hi hi)

Atau pas jaman SMA yang elo digebukin rame-rame sama anak Islamiyah di depan WC sementara deket kantin Don Salamo ? Gara-gara elo mukul Tulo pas elo gak pake badge?

Saking seringnya lo ribut sama orang, sampe pas elo sama Adam tabrakan on the way ke PAMSOS --acara musiknya anak SMA 6--dan tangan lo patah, banyak yang bilang elo kena tulah karena "ringan tangan"
Padahal abis itu justru Ijum Verdi kena pukul elo gara2 maen slepetan di kelas nyasar ke tangan lo yang lagi patah digips itu. Hi hi hi...

Guh...
Inget gak di suatu saat di Lapangan Depan, ketika kita masih SMP, elo bilang gini ke kita-kita "He he..iya yah gue tuh kalo udah begini selalu nyesel, kenapa gak seringan maen sama elo-elo...", menyesali kenakalan elo bersama gank nakal lo.

atau pas jaman pas kita liburan di Bandung, dan elo memberi kami fasilitas sebuah rumah di jalan Kanayakan punyanya sodara lo untuk kita acak-acak sementara. Malah jaman itu elo masih pacaran sama Tanya, elo pake telponnya sodara lo untuk interlokal Tanya, sambil maenin lagu pake piano. Romantis sih Guh, tapi berapa ya tagihan telpon sodara lo setelah itu..ha ha ha...

Atau jaman kita rame-rame nangkring di rumah Teges, dan elo selalu memainkan piano dengan romantisnya, tapi saat lo mau menyanyi, Teges ngebekap mulut lo "Udah Guh, kamu maen piano aja..."
Hahahahaha...Tae tuh emang Teges.

Guh..
inget gak jaman elo mulai cabut dr The Hours of Silence trus mulai gabung ama Kidnap dan seterusnya jadi anak potlot dan kita mulai "kehilangan" elo meskipun kita sesekali masih ketemu elo.

Guh..
Mungkin blog gue gak cukup buat nulis semua kenangan-kenangan dan kejadian-kejadian tolol yang pernah kita lakuin bareng-bareng.
Tapi semoga cukup bisa ngingetin ke semua orang bahwa, mau ke manapun kita pergi, cuman IMAN kitalah yang bakal menentukan ke mana akhirnya kita.

Seperti seluruh perjalanan terakhir-terakhir hidup lo yang tercermin dari postingan-postingan blog lo...

Yang tenang ya DI SANA, Guh....



Layar pun menutup perlahan
Lampu-lampu satu persatu padam
Tinggal raut wajah malam
Kulihat menjawab dengan tawa
tanda pertubjukan selesai
sampai di sini...

DRAMA HITAM-PUTIH
by Anda, Yuka, Teguh (?)

Rabu, 22 September 2010

Time Passes By

Kadang kita emang gak pernah inget apa yang udah kita lewati sejalan dengan waktu berlalu.
Kadang elo tauk-tauk tersadar dan kemudian melongo sambil berucap
"Hahh?? Itu tahun lalu?"
"Hahh?? masak sih itu udah 5 tahun yang lalu?"

Kayak yang gue lakuin waktu ngelongok postingan terakhir gue di blog geblek ini.
"Buset ampir 1 bulan udah ini blog gue onggokin."

Dalam sebulan ini apa aja yang udah terjadi ya?

Yep, gue kumpul2 dengan beberapa temen jaman SMP plus temen SMA.
Pertama di Chatterbox Citos,
trus di Rumah Apit & Dunya di Cilandak,
dan terakhir di rumah Harlin dan Aya di Mampang.
Selintas muka-muka yang nongol gak ada yang berubah.
Tapi jangan tanya soal postur.
Damm!
Bocah-bocah yg hampir 8 tahun lalu satu sekolah ini udah menjelma jadi bapak-bapak (Apit, Tanti, Harlin, Emink, kambing, Irto), ibu-ibu (Shanti, Tari, Vivi, Lina, Dita) , tante-tante (Cumi & Soraya!), oom-oom (Maesa, Yoris, dan Aci dan Ireneee!).
Cuman gue doang yg keliatan masih ABG..he he he
(Anak-anak: Iya HEEERRR, maksud lo ABG = Anaknya Baru Gede!!??)
8 tahun?
Gila ke mana aja waktu itu berjalan....

Selain itu apalagi yang terjadi?


Ari Kondang kawin!
LAGI!
He he he...
Perasaan baru kemaren gue nyalamin dia di pelaminan berdampingan sama Rosa.
Tauk-tauk pertengahan Desember kemaren itu gue udah di pinggir pantai Pulau Seribu, bareng Dicky, Keke & Wulan, Alex & Ella, David Hutagalung, Riri, Maesa dan Fabby,
Jadi saksi Kondang dan Maria kawin.
Kawin lagi buat Kondang, kawin pertama buat Maria.=)


Kemudian?

Rasanya baru kemaren gue posting soal nyeseknya BBM Naik.
Tauk-tauk hari ini gue ngerasain betapa uang 20 rb itu cuman dibakar jadi uap sehari.
Sore udah harus diisi lagi.
Hikk...hikk...emaaakkk berasmu dirampokkkkkk!!!
Bedebah kau SBY, bangsat kau BUDIONO!

Yang terakhir.

Rasanya baru kemaren ngeliat Paddy's dan Sari Club rata jadi tanah.
Dan rasanya belum lama setelah itu gue, Bowo dan Jhos berpotret ria di tempat yang sama yang berubah jadi monumen Ground Zero.
Makan di desiran angin pantai Jimbaran.
(Dengan susah payah karena Gue bawa ransel gede waktu itu)
Keliling-keliling di keramaian Kuta Square.

Dan sekejap itu udah jadi gambaran masa lalu lagi...

Entah apa lagi yang bakal kita lewatin.
Dan entah ke mana perginya masa-masa itu.
Entah lenyap begitu aja ninggalin memori.
atau pergi bareng sama rasa kemanusiaan dan keluluhlantakan.

Entah...

Amnesia

Bangsat..
Padahal baru 12 kali tahun baru, tapi otak melayu sudah menguap.
Injakan sepatu PDL dan bau mesiu gak berbekas setitikpun.
Kelelawar-kelelawar haus darahpun njelma jadi burung kakaktua.
Dipuja-puja dan diberhalakan.
Saat duduk-duduk di atas jeritan dan kepingan manusia.
Yang dulu kau nisani dengan pelor tajam.
Di tengah peluh dan air mata keluarganya.

"Apa kabar rakyat...?"

"Apa kabar bangsa..?"

"Apa kabar bangsat..?"

Salah

Siapa sih yang gak takut salah?
Siapa sih yang mau berbuat salah?
Siapa sih yang gak malu dibilang salah?

Itulah sebabnya maka yang muncul berikutnya adalah:

"Siapa yang salah!!??" *dengan nada agak ngotot*
"Salah siapa!!!?" *lebih ngotot*

Manusia memang makhluk yang gak sempurna.
Yang gak mau sempurna karena gak mau berusaha benerin salahnya.
Yang gak mau sempurna karena terus-terusan bikin salah yang sama.
Dan semakin gak sempurna karena terus2an berlindung dibalik ke-gaksempurna-an nya itu.

Dalam bentuk mikronya biasanya statement andalannya adalah:
"Gue emang begini orangnya...gimana lagi?"

Inferioritas dipake buat berlindung.
Ketidakmauberubahan dijadiin perisai.
Dan ke-manusiawi-an adalah kerudung yang dipake atau dibuka tergantung kebutuhan.

Lalu pertanyaan berikutnya: tendensi ini benernya anak haram siapa?
Benar gak sih itu hasil perselingkuhan dengan keabu-abuan?
anak haram yang lahir dan menisbikan nilai salah dan benar.

Tercenung gue di beberapa hari belakangan.
Salahkah gue?
Cari musuh di belantara industri..
Pasang karbit di dedaunan muda...
Cari penyakit di tetunasan jari sendiri...
Pasang bar tinggi di tengah kegamangan...
Berasa asing di halaman belakang rumah..
Berasa kerampokan value tiap hari...
Nemenin Yoga jadi sekrup kapitalis..

Mungkin enggak.
Tapi mungkin juga salah.

Itu gunanya ada lebaran.
Supaya kita bisa mohon maaf atas salah kita.
Baik ke orang lain maupun ke diri sendiri...




Gue maafin, Her.... *sambil ngaca*

Senin, 20 September 2010

An Apple




Pasti pernah denger dong quote: An Apple a Day, Keep Doctors Away

Gue gak tau siapa yang pertama mencetuskan.
Tapi konon memang apel punya banyak khasiat kalo dikonsumsi dengan rutin dalam takaran yang pas.

Pada dasarnya memang banyak makanan yang berkhasiat kalo dikonsumsi rutin dengan takaran yang pas.
Konon wine pun begitu.
Tempe juga.

Di luar makanan, banyak hal juga yang seharusnya “berkhasiat” kalo “dikonsumsi” rutin dengan takaran yang pas.

Belajar. Main. Dugem.
Tidur. Kerja. 
Istirahat. Main Winning Eleven.
Main Futsal. Nonton TV. Baca Koran.
Main Game. Fitness. Chatting.
Pijet. Main Internet.
Nonton Bokep. Baca buku. Nulis Blog.
Semua.

Problemnya, setiap orang punya kecenderungan “keseret” ke salah satu dengan porsi yang berlebihan dibanding yang lain.

Yang doyan dugem, dugeeeeem terus.
Yang doyan chatting, chattinnnnnng terus.
Yang korupsi, dipol-polin korupsinya.
Yang jalan kotanya rusak, dibablasiiiinnn terus rusaknya.
Yang kelelep lumpur dilelepiiiiinnn terus.
Yang dipenjara ngotot mimpiiiiiiinnnn PSSI teruss.
Yang naik harga, naiiiiiikkkkkk terus.
Yang ngelindungin bangsat BLBI, ngelindungin gak ada matinyeee.

Makanya ada konsep yin-yang.
Ada konsep keseimbangan semesta.
Ada balancing dan spooring kalo di mobil.

Balik ke masalah apel.
Dah seminggu ini gue sok-sokan sahur apel doang tiap hari.
Bener sih, maag kambuhan gue berkurang.
Badanpun agak2 fit gak lemes.
Entah beneran, sugesti, atau gara2 skrg juga rutin Tennis??? Hehehe..

Terakhir belanja di Aneka Buana gue ngambil 12 biji apel impor cina yang emang enak.
Pas ditimbang…“Pa, buset…total 62 ribu!!!”
Gue mikir sejenak, “anjrot sebijinya goceng lebih!!”

Tiba-tiba kayak di film Donald Bebek, di sisi kiri kepala gue muncul iblis mungil berkarakter Herry bilang :
“Herr…2 biji itu sama dengan sebungkus Dji Sam Soe 16!”

Dan tiba-tiba muncul di kanan kepala gue sesosok malaikat mungil berkarakter Herry juga, mbisikin lembut:
“Coba lo inget udah berapa duit yang lo habiskan buat hal-hal yang ngerusak badan lo? Saatnya berkorban dikit buat kesehatan badan lo kali, Herrrr…”

Puff!
Si Iblis menghilang, dan malaikat berjaya.
Dan gue berjalan ke kasir dengan gagah bak koboi menuju matahari terbenam.

Penuh kemenangan...

Senin, 13 September 2010

Si Sri dan Mimpinya

Kisah ini semula gue kira sebuah kisah sedih.
Tapi rasanya bukan.
Karena kisah nyata ini ternyata memberi seorang Herry pelajaran.

Kisah dibuka dengan sebuah telpon dari tante gue buat nyokap, di saat gue dan keluarga menjadi Upik Abu di rumah, setelah ditinggal bedinde-bedinde pulang kampung dan memaksa kita ambil cuti bergantian.

Di telpon, tante gue bercerita bahwa di rumahnya ada seorang cewek.
Namanya Sri.
Dia dateng dari Temanggung dianter sama ibunya untuk casting di sebuah Talent Agency di daerah Gandul deket rumah tante. (Jooooo… talent agency kok di daerah Gandul???)

Singkatnya, mereka sempet terdampar di rumah tante gue, sebelum nemuin tuh Talent Agency. Karena belum punya tempat tinggal, akhirnya tante gue menampung anak-beranak itu semalem di rumah. Selama di rumah nyokap mereka sempet bantu-bantu kerjaan rumah juga. Setelah itu mereka ngontrak di deket Talent Agency itu untuk sewaktu-waktu dipanggil casting.

Menurut cerita mereka, mereka diharuskan membayar uang Rp 450.000 untuk mengikat kontrak setahun (MEMBAYAR lho bukan DIBAYAR…), supaya sewaktu-waktu bisa dipanggil kalo dibutuhin.

Alhasil setelah beberapa lama ngontrak, suatu hari si Sri “maen” ke rumah tante gue lagi. Ujung-ujungnya dia cerita bahwa dia kehabisan duit buat bayar uang kontrakannya dan mau minjem duit. Dan tante gue karena gak bisa bantu, nyaranin Sri untuk kerja sebagai PRT serep yang justru pas lebaran gini dibutuhin orang-orang.

Singkatnya, itulah kenapa tante gue menelpon, dia nawarin Sri untuk jadi PRT serep di rumah gue selama 10 hari. Gayung bersambut, karena memang gue dan nyokap mulai kelelahan menjadi upik abu.

Dan tanpa gue sangka, si Sri bekerja luar biasaaaaaaa.
Kerjanya cepet, rapi, bersih.
Rumah gue justru lebih rapi dan bersih dibanding hari-hari sebelum lebaran.
Belum lagi soal inisiatif dan ketidakcanggungannya berhadapan sama orang.
Bener-bener ngebantu banget pas rumah kita open house kedatengan sodara-sodara di H1 lebaran.

Di suatu hari, gue sempet ngobrol sama si Sri.
Gue terenyuh denger cerita dia. Apalagi gue ngeliat secara fisik (duh maap ya…) dia gak punya penampilan yang memadai untuk jadi talent atau tampil di sinetron.
“Saya udah sempet syuting 2 kali kok mas” katanya berbinar-binar.
“Yang pertama buat sinetron yang satu lagi buat iklan.
Cuman numpang-numpang lewat sih.
Yang sinetron saya dibayar Rp 25 ribu.
Kalo yang iklan lebih gede mas. Rp 40 ribu…”

Mak Jlep!

Duh…
Mungkin orang bisa bilang gue materialistis ya, tapi tetep aja uang segitu itu kan minim bangettttt!!
Setauk gue extras buat iklan aja 100-150 ribu perak bukannn?

“Saya sih gak pilih-pilih mas. Kalo teman-teman saya yang lain banyak yang udah pilih-pilih. Kalo saya peran apa aja saya ambil aja. Istilahnya kan sambil belajar ya mas ya. Jadi ntar lama-lama insya allah dikasih dialog..”

Awalnya gue miris.
Kayak gini ya ternyata imbas iming-iming jadi bintang itu?
Thank’s to AFI, Idol dan pemilihan-pemilihan idola lainnya…

Kenapa sih dia gak jadi pembantu ajah????
Kerja dia bagus banget kokkk, begitu pikiran gue.

Itulah makanya akhirnya gue nawarin dia untuk kerja permanen karena gue udah males juga sama bedinde lama gue, yang sampe detik gue ngobrol gak ada kabar dia akan balik atau enggak.

Tapi apa jawabnya si Sri?

“Wah mas..sebenrnya kalo soal mau sih mau aja mas. Cuman gak bisa saya… Soalnya udah keiket sama yang di sana kan mas…”
begitu jawab dia sambil nyebut nama talent agency yang “mengontrak” dia.

Gue udah pengen ngelarang dia nerusin niatnya itu.
Tapi entah kenapa, ngeliat sorot matanya yang berbinar penuh keyakinan, gue tiba-tiba tersadar.

Siapa sih gue, kok berani-beraninya ngelarang Sri?
Siapa sih gue, kok bisa-bisanya yakin mimpi dia gak bakal terwujud?
Siapa sih gue, kok punya nyali untuk ngevonis dia bakal lebih sukses jadi pembantu daripada ngejar mimpinya?

Tiba-tiba gue ngerasa kecil di depan dia.

Buat dia saat ini, impossible is nothing.
Sementara gue tiba-tiba berubah menjadi orang kecil yang karena udah gak berani lagi bermimpi, akhirnya cuman bisa ngelecehin orang-orang yang masih berani bermimpi.

Damned.

Sejak kapan gue jadi orang yang nyinyir soal mimpi seseorang?
Sejak kapan gue jadi sutradara yang nentuin jalan cerita orang lain?
Sejak kapan gue membunuh kepercayaan gue tentang the power of dreams?
Sejak kapan …

Tiba-tiba beribu pertanyaan berloncatan.
Pertanyaan-pertanyaan yang bahkan sampe detik inipun masih gak bisa gue jawab…

Jumat, 10 September 2010

GEmerLAP

Hitam.
Entah yang di sebelah mana.
Gelap.
Namanya juga malam.

Pejam.
Mungkin itu sebabnya.
Silap.
Terserah mereka sebut apa.

Lalu?
Pagi berganti malam kah?
Malam berganti pagi kah?
Siapa yang peduli?
Toh matahari datang dan pergi.
dan bulanpun muncul silih berganti.

Dan akupun duduk sendiri.
Sambil pandangi 2 buah busur pelangi.....

Selasa, 07 September 2010

Hati-Hati di Jaman Sekarang

Beberapa bulan belakangan ada satu kalimat yang paling disebelin sama temen-temen kreatif yang kerja bareng gue.

“Udahlahh… gak usah pake hati!”

Ya, memang untuk member-member tertentu, gue udah netapin policy itu.
Kerjain aja yang diminta dan dibutuhkan by request.
Karena khusus member tertentu itu, udah sering kejadian, kalo pake hati malah bikin frustrasi dan ngerusak mood.
Detailnya gak perlu lah ya.
Selain karena capek ngingetnya, juga karena ini satu hal yang gak bisa diceritain.
Tapi bisanya dirasain…
Nah itulah,
Karena males ngerasaian makanya policy yg gue berlakukan adalah “gak usah pake hati”.

Nyatanya emang sebuah hal yang ngeselin dan berlaku terus menerus dalam jangka waktu panjang, sering bikin kita mati rasa.

Protes udah males.
Kesel juga udah enggak.
Mati rasa aja.
Gak ada hati yang perlu dilibatin.

Kayak kebanyakan orang Jakarta aja.
Udah gak pake hati kalo ngadepin kemacetan.
Diamprokin mobil-mobil muntahan tol JORR yg naik tarif, juga diem aja.
Ada sih yg mau class action tapi toh skrg udah adem ayem…
Dikasih lengang seminggu trus dijubelin lagi, juga cuman ngomel-ngomel kecil…

Kayak kebanyakan orang Indonesia aja.
Disodorin berita anggota KY terima suap, cuma cengengesan aja.
Ketua MA pengen memperpanjang sendiri umur pensiunnya, cuek aja.
Calon anggota KPU dinyatain sebagai tersangka, bodo amat.
Ketua PSSI nya adalah terpidana 2 kali, tetep aja pada mbudeg.

Tapi yang lebih bahaya sebenernya adalah, kalo ini juga berlaku buat HAL BAIK yang berlaku terus menerus dalam jangka waktu panjang.

Kayak misalnya yang terjadi sama gue.
Ketika pertengahan Mei lalu gue ultah yang ke 23 (nih liat neh gue jujur kali ini!!!! :p )
Udah gak ada lagi excitement kayak waktu dulu ultah belasan tahun.
Meski tetep ada lah sparkle2 dikiiiiit.
Tapi ya tetep aja, beda.
Padahal harusnya justru makin seneng ya masih dikasih nikmati ultah ke sekian!?

Atau yang terjadi sama teman-teman muslim pas puasa & sampe lebaran
Gak makan minum sebulan udah jadi rutinitas biasa tanpa hati.
Minta maaf udah otomatis meluncur dari mulut--sekarang malah dari jari
Kadang berasa cuman jadi kewajiban.
Sebuah rutinitas.
Protokoler.
Ritual.

Betul.
Di jaman sekarang, emang hati itu udah kayak alat aja.
Mau dibawa dan dipake atau enggak, terserah aja.

HP aja kayaknya lebih penting.
Coba kita sehari ketinggalan HP….belingsatan kayak lupa pake celana dalem kan?
(Maaf pertanyaan ini cuma buat orang normal yang sehari-hari pake celana dalam yaaaa…!!!)

Kalo ketinggalan hati?

“Masssss!!! Masssss!!!! Hatinya ketinggalan tuhhh!!!!!!”
“Oh..iya ya? Ah…biarin deh, dah jarang saya pake kok…”

Jumat, 03 September 2010

PAMER

Masih segar di ingatan gue ketika masih kecil suka banget gambar-menggambar. Terus biasanya itu diakhiri dengan ritual pamer hasilnya ke nyokap atau bokap, dengan sebuah kalimat tanya:
“Jelek ya?”

Jelas ekspektasinya adalah jawaban seperti:
“ah enggak kok bagussss…”

Iya.
Mungkin lebih banyak anak yang melontarkan pertanyaan “Bagus gak?”— Tapi entah kenapa, dulu gue memilih bertanya dengan pendekatan negatif :D

Anyway,
apapun pilihan cara bertanyanya, misi anak seumur gue dulu itu adalah menerima pujian.
Jadi pernah suatu kali gue bertanya sama nyokap: “jelek ya?” dan nyokap lagi ribet, beliau nyahut cuek “iya, jelek“

Itu beneran sedihnyaaaaaaaaaa minta ampuuun….
(sayang waktu itu belum ada istilah Garuk2 Aspal :p)

Tapi gara-gara itu gue dapet pelajaran berharga dari nyokap:

“Kalo kamu yakin gambar kamu bagus, ya gak usah nyari penegasan. Kalo kamu beneran minta pendapat orang, ya harus siap dengan ‘kejujuran’ pendapat itu dong”


Exact words-nya mungkin gak kaya gitu, tapi kurang lebih itu yang gue tangkep sampai saat ini. "Orang yang butuh pengakuan dari orang lain adalah orang yang menyedihkan."

Buat gue komentar nyokap itu ternyata masih relevan sampai sekarang.

Apalagi kalo lagi iseng melototin timeline twitter.
Kadang suka cengar-cengir sendiri ngeliat orang2 yang lagi ngetweet sesuatu dengan maksud pamer--kalo orang Islam suka bilangnya Riya.
Atau yang lebih parah lagi malah ada yang sengaja ngereply tweet org pake RT-dengan tujuan sama: PAMER.

Ada yang reply dgn RT, pujian2 yang ditujukan ke dia.
Ada yang reply dgn RT, cuman krn mau nunjukin dia lagi di luar negeri.
Ada yang reply dgn RT, cuman krn mau nunjukin dia akrab dengan seseorang yang (dianggap) penting.

Gara-gara mereka, gw akhirnya memutuskan untuk ‘lebih memaafkan’ orang yang reply dengan RT karena menyangka RT itu singkatan dari Reply To—instead of Retweet.
Karena mereka memang ga tau.
Bukan berlaku kaya anak kecil...


“Halah Her, lo kan juga sering pake RT!”

Yah gue kan cuma orang biasa.
Kapolri & Jaksa Agung aja ama Presiden dibolehin khilaf, masa gue gak boleh….




---

Ku dibelikan boneka Simpson kesukaanku
ku dibelikan Hello Kitty kesayanganku
ku dibelikan Doraemon teman tidurku oye oye oye oye.
- Semua Dicium ~ 3 Anak Manis (1991)