Hari itu, untuk kesekian kalinya Ia dibawa ke rumah sakit karena komplikasi setelah menjalani kemoterapi. Ia pergi ditemani Mama dan Kakaknya. Saya tidak merasa perlu ikut mendampinginya. Saya, yang sudah terbiasa dengan kunjungan rutin ke rumah sakit lima hari dalam sebulan, menganggap hari itu sama seperti hari-hari lainnya.
Saya berdiri di depan pintu, melepas kepergian Dia sambil melambaikan tangan. Ia dengan sweater panjang kesayangannya. Ia dengan kepala dengan rambut yg hampir botak karena rontok, ia membenci wig dan topi yang membuat gerah. Ia dengan wajah mengernyit, tanpa satu pun keluhan terlontar.
Hari itu tanggal 3 Oktober. Dia pergi ke rumah sakit tanpa saya di sisinya. Ia tidak pernah kembali lagi.
Saya merelakan kepergian Verish, karena saya lebih memilih kehilangan seorang kekasih ketimbang melihatnya menderita dalam kesakitan. Namun, perlahan-lahan kehilangan itu menjelma menjadi lubang hitam. Saya merindukannya, dan kini saya tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Satu-satunya saat di mana kami dapat berjumpa lagi, barangkali nanti, ketika saya menyusulnya ke surga. Meski saya tidak bisa memungkiri perasaan bahwa dalam saat-saat tertentu, ia terasa begitu dekat.
Seolah-olah Verish tidak pernah pergi dari sisi saya. Ia hadir dalam saat-saat terberat di mana saya merasa hidup tidak lagi ada gunanya. Ia hadir dalam masa-masa paling mengecewakan di mana yang ingin saya lakukan hanya mengubur diri di bawah selimut dan menghindari dunia.
Seakan-akan Dia ada dan berbisik, “Tidak apa-apa, Semua akan baik-baik saja,” meski tangannya tak dapat menjangkau wajah saya yang berairmata.
Ia hadir dalam saat-saat penuh kebahagiaan di mana saya berkhayal dapat menghambur ke rumahnya dan menceritakan apa yang saya rasakan dengan penuh sukacita. Ia hadir dalam masa-masa penuh kegembiraan ketika saya berbangga hati atas pencapaian yang saya raih. Seakan-akan Dia ada, tepat di sisi saya, tersenyum lebar, dan berbisik, “That’s my boy.”
Betapa saya rindu mempersembahkan setiap kemenangan dan keberhasilan saya untuknya, dan saya tahu dia tahu.
Setelah hampir satu tahun, akhirnya saya sadar: saya keliru.
Verish tidak pergi ke tempat asing bernama Surga di mana kami terpisah selamanya. Saya tidak perlu menanti sampai mati untuk berjumpa lagi dengannya. Saya tidak perlu menunggu sampai masa kontrak saya dengan dunia berakhir untuk bisa menemuinya.
Verish tidak pergi ke tempat lain. Ia pulang ke hati saya. Sebuah tempat di mana ia akan abadi dan tak terganti. Dan kami akan selalu bersama. Selamanya.
“I know you’re listening, Ve. Welcome home.”
* * *
Once in a dream, I saw you telling me
That you’ve traveled in the dark
Just to find that little spot
How you’d settle for a light
In the vastness of the night
Then I saw some tears were coming from your eyes
As you said you’d found your paradise
And I began to ask you: why you have to cry?
And now, it’s so dreamlike I hear you telling me
It’s been such a perfect grace; it’s been such a perfect place
To be in my heart at last, and have angels singing you a song
And it’s time for me to say goodbye to those eyes
To let you go so sleeplike and hear you whisper: why we have to cry?
It’s a journey, you say, an illusion of a journey
Now you can’t see where it ends and where it starts
It’s our life and our love that you wish to have, where you wish to be
In this tiny spark of memory, mortality
What’s left for me to do is to welcome you home
Back to my heart, back to heaven’s light
Back to my heart, and we’re never apart
(Back to Heaven's Light - Dewi Lestari)