Apa salah satu plot favorit film Hollywood?
Tokoh antagonis dibikin abu-abu.
Kadang tokoh antagonis diposisikan sebagai korban, jadi meskipun antagonis tapi audiens dipaksa berempati. Misalnya Catwoman atau Penguin di film Batman.
Atau kadang tokoh antagonis ini justru punya kedekatan dengan tokoh protagonisnya. Misalnya Hannibal Lecter di Silence of the Lambs.
Apa salah satu plot favorit sinetron Indonesia?
Tokoh antagonisnya dibikin item seitem-itemnya, tokoh protagonis putih seputih-putihnya.
(Jadi inget tagline Hugos: “Tempat Party se-party-party-nya” =P )
Misalnya di sinetron ala Hidayah (Hikayah? Habibah? Ah whatever). Tokoh Istri berjilbab yang suaminya miskin, trus diajak ama temennya ngelacur. Pas ketauan dan dinasehatin sama Pak Ustadz, malah si Istri marah2 dan maki-maki
“AHHH PAK USTADZ INI NGAPAIN SIH IKUT CAMPUR URUSAN ORANG. Emangnya kalo kita kelaparan Pak Ustadz mau ngasih makan kita!!??? Udah sana Pak Ustadz ke mesjid aja sana! Sholat gih!”
"Astaghfirullah…"
(Yang ngucap ini selain tokoh pak Ustadz di sinetron itu, juga gue--Gue lebih karena shock kok ada ya penulis skenario setega ini sama karakter ciptaannya…)
Atau ada di sebuah sinetron non religi, yang ceritanya: Bapak-Ibunya itu gak punya uang sementara anak-anaknya lumayan kaya. Si anak ngomong gini,
“Bapak dan Ibu itu udah gak bisa ngasih warisan, malah ngerongrong kita. Orang tua yang baik kalo meninggal itu ngasih warisan! Lagian bapak dan ibu katanya orang yang taat beragama, berarti udah biasa puasa dong!! Tahan laper dikit kenapa sihh!!?”
Tokoh Bapak, Tokoh Ibu, dan gue: “Astaghfirullah…”
Entah apa yang ada di otak penulis skenario sinetron Indonesia.
Mungkin, mereka nganggep orang Indonesia itu bodoh, jadi kalo dikasih abu-abu, bingung yang mana antagonis yang mana protagonis.
Tapi…jangan-jangan emang bener ya?
Jangan-jangan emang begitu karena orang-orang Indonesia di kehidupan sehari-hari emang cenderung dikasih tontonan realitas yang serba abu-abu, jadi susah mbedain antagonis dan protagonis.
Ada (mantan) Narapidana jadi ketua PSSI, siap ndodosin duit APBD-APBD katanya demi “tontonan rakyat” bernama sepakbola.
Ada Menteri yang ‘tangannya bersimbah darah’ korban kecelakaan transportasi laut, darat, dan udara, tapi mukanya yang kucel dan rambutnya yang putih bikin dia dikasihani.
Ada Menteri yang bikin kelaparan ribuan orang, tapi karena dia “Beragama”, jadinya gak terlalu dihujat. (Sama dong sama SPG-SPG dari Univ Moestopo Beragama… :p )
Tapi gue rasa enggak juga.
Buktinya ada orang-orang yang konsisten tetap dengan statement-statement antagonisnya ala sinetron.
Misalnya, ada menteri cameh yang ngurusin kesejahteraan rakyat tapi :
Pas harga elpiji naik, dia nyuruh orang pake kompor minyak
Pas harga minyak naik, dia nyuruh orang pake kompor briket batubara
Pas perusahaannya nenggelemin puluhan desa di sidoarjo, dia bungkem
Terakhir pas Jakarta tenggelem, dia bilang media massa membesar2kan masalah seolah-olah Jakarta mau kiamat
(pak…buat yang mati dan hartanya ludes dibawa air itu namanya kiamat kaleee…)
atau ada Gubernur yang tahun 2002, daerah yang dia pimpin tenggelem, dia bilang, “Siapapun gubernurnya, saya yakin gak ada yang bisa nyelesein masalah banjir ini!”(terus kenapa elo pak yang jadi gubernur? Kenapa gak Mas Rony tukang nasi goreng depan rumah gue? Sama-sama gak bisa ngatasin banjir kan?)
Tahun 2007 pas jakarta tenggelem (lagi) dia bilang dia gak bisa ngatasin sendiri, dan katanya emang ada daerah-daerah Jakarta yang letaknya rendah jadi WAJAR kelelep. (hellooooo…Bapak gubernur kan? Helloooo…Belanda letaknya di bawah permukaan laut bukan, pak?)
Jadi berterimakasihlah pada Sutiyoso dan Aburizal Bakrie.
Karena berkat mereka, audiens kita udah dikasih contoh tokoh antagonis itu kayak apa. Jadi mereka gak bodoh lagi. Jadi sebenernya gak perlu lagi penulis skenario sinetron menghitamputihkan permasalahan. Malah jadi gak membumi dengan keseharian.
Gak se-membumi skenario Ekskul yang jadi film terbaik FFI 2006…
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat datang kepada siapa saja dan 'apa saja' yang telah singgah atau cuma 'nyasar' di tempat ini. Hanyalah sedikit yang bisa dituangkan bagi yang sempat membaca. Sedikit yang bisa diberi untuk yang memerlukan. Dan semoga bermanfaat. Terima kasih atas kunjungannya. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Selasa, 30 Maret 2010
Senin, 29 Maret 2010
Pelajaran Yang Tersisa ( Kisah 2006 )
Di sebuah kelas Fakultas Hukum, Marcello Lippi maju ke depan dengan cerutu di mulutnya.
Dia bicara panjang lebar tentang arti sebuah kerja keras.
Tentang proses panjang menuju sebuah tujuan.
Seluruh isi kelas manggut-manggut.
Mereka tak berani menyangkal kebenaran isi kuliahnya hari itu.
Mereka semua menjadi saksi keberhasilan tim Italia yang dibentuknya dengan solid.
Mulai dari melibas Jerman di partai pemanasan di Firenze, dengan skor telak 4-1, sampai di laga pamuncak mengandaskan Perancis 6-5 lewat adu penalti di Berlin, tim Italia tak pernah terkalahkan.
Determinasi, strategi, permainan cantik menyerang diramu dengan cattenacio, menjadi resepnya.
Dan Piala Dunia di tangannya, menjadi buktinya.
Setelah itu Zinedine Zidane maju ke depan.
Kali ini seisi kelas manggut-manggut mendengar isi kuliah Zizou tentang kehidupan seorang manusia.
Dia bicara tentang perjalanan panjang hidup seorang manusia yang penuh dengan pasang surut.
Tentang manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang tak pernah sesempurna penciptanya.
Lagi-lagi mereka tak berani menyangkal kebenaran isi kuliah itu.
Mereka semua memelototi rekaman perjalanan roller coaster Zizou, mulai dari Girondins de Bordeaux, Juventus, Real Madrid.
Mulai Dari WC 1998, 2002, sampai 2006.
Keseimbangan skill dan mental menjadi resep kehidupannya.
Baik dan buruk adalah hasil dari komposisinya.
Golden Ball 2006 dan Kartu Merah adalah buktinya.
Giliran Horacio Elizondo maju ke depan.
Dia bicara soal keadilan.
Dia bicara soal keberanian.
Dia bicara soal esensi pepatah yang sudah lama mereka kenal: "Berani karena Benar"
Dan sekali lagi mereka manggut-manggut.
Mereka memangguti performa Elizondo di tengah kritik buruknya kinerja wasit di WC 2006.
Mereka memangguti keberaniannya bersikap adil, tanpa pandang bulu.
Siapapun bersalah, meskipun bintang seperti Rooney atau dewa seperti Zizou, ya harus dihukum.
Kuliah pun selesai.
Tiga tamu kehormatan, Mendiknas Bambang Sudibyo, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan Wapres Jusuf Kalla pun dipersilakan maju ke depan untuk menyampaikan satu patah dua patah kata.
Sebelum nantinya memukul gong, sebagai penutupan secara simbolis, kuliah singkat tersebut.
Mereka bertiga kemudian bergantian menyampaikan rasa terima kasihnya kepada tiga dosen tamu tersebut.
Sambil bergantian memberi petuah yang intinya sama: agar para mahasiswa memahami isi kuliah tersebut, mengambil esensinya yang begitu berharga, sebagai pijakan untuk kehidupan dan masa depan para mahasiswa sendiri.
Seorang mahasiswa berdiri.
"Maaf bapak-bapak terhormat.
Kalo benar bapak setuju dengan esensinya pak Lippi, Pak Zidane dan Pak Elizondo, lalu mengapa itu tidak keliatan dr pemikiran dan perilaku Anda bertiga ya?"
Kelas bergemuruh.
"Kebijakan Mendiknas mengadakan Ujian Nasional sama sekali tidak menghargai kerja keras anak-anak sepanjang tahun.
Hanya dalam sehari kerja keras setahun hilang begitu saja.
Hidup matinya seseorang bisa dibalik semudah membalik kertas.
Lihatlah Pak Zidane.
Kesalahannya di partai final, tidak memupus kerja kerasnya sepanjang turnamen.
Dia masih tetap terpilih sebagai Pemain terbaik World Cup 2006.
Ucapan Bapak Wapres yang mau menjadikan janda-janda di daerah puncak menjalankan kawin kontrak supaya menarik wisatawan TimTeng, sangat-sangat tidak memanusiakan manusia.
Pemerintah tak mau kerja keras menyediakan mereka lapangan kerja, dan lebih memilih cara instant dengan melacurkan mereka.
Pemerintah tak menganggap mereka manusia, karena bukan saja tak berusaha meningkatkan skill mereka, tapi juga justru memarjinalkan mental mereka.
Keputusan Pak Ketua MA yang tidak mau datang sebagai saksi di pengadilan Tipikor tidak menggambarkan keadilan.
Merasa dirinya sebagai Dewa yang tak tersentuh.
Boro-boro dikartumerah, diperiksapun tak mau.
Sebaliknya Pak Ketua MA malah "memanusiakan" hakim dengan cara menerbitkan peraturan MA yang membolehkan hakim menerima pemberian..."
Kelas hening.
Semua orang manggut-manggut.
mahasiswa tadi maju ke depan, mengambil pemukul gong.
"Pelajaran sudah selesai..."
GOOOOONGGGGG!!!!!
Dia bicara panjang lebar tentang arti sebuah kerja keras.
Tentang proses panjang menuju sebuah tujuan.
Seluruh isi kelas manggut-manggut.
Mereka tak berani menyangkal kebenaran isi kuliahnya hari itu.
Mereka semua menjadi saksi keberhasilan tim Italia yang dibentuknya dengan solid.
Mulai dari melibas Jerman di partai pemanasan di Firenze, dengan skor telak 4-1, sampai di laga pamuncak mengandaskan Perancis 6-5 lewat adu penalti di Berlin, tim Italia tak pernah terkalahkan.
Determinasi, strategi, permainan cantik menyerang diramu dengan cattenacio, menjadi resepnya.
Dan Piala Dunia di tangannya, menjadi buktinya.
Setelah itu Zinedine Zidane maju ke depan.
Kali ini seisi kelas manggut-manggut mendengar isi kuliah Zizou tentang kehidupan seorang manusia.
Dia bicara tentang perjalanan panjang hidup seorang manusia yang penuh dengan pasang surut.
Tentang manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang tak pernah sesempurna penciptanya.
Lagi-lagi mereka tak berani menyangkal kebenaran isi kuliah itu.
Mereka semua memelototi rekaman perjalanan roller coaster Zizou, mulai dari Girondins de Bordeaux, Juventus, Real Madrid.
Mulai Dari WC 1998, 2002, sampai 2006.
Keseimbangan skill dan mental menjadi resep kehidupannya.
Baik dan buruk adalah hasil dari komposisinya.
Golden Ball 2006 dan Kartu Merah adalah buktinya.
Giliran Horacio Elizondo maju ke depan.
Dia bicara soal keadilan.
Dia bicara soal keberanian.
Dia bicara soal esensi pepatah yang sudah lama mereka kenal: "Berani karena Benar"
Dan sekali lagi mereka manggut-manggut.
Mereka memangguti performa Elizondo di tengah kritik buruknya kinerja wasit di WC 2006.
Mereka memangguti keberaniannya bersikap adil, tanpa pandang bulu.
Siapapun bersalah, meskipun bintang seperti Rooney atau dewa seperti Zizou, ya harus dihukum.
Kuliah pun selesai.
Tiga tamu kehormatan, Mendiknas Bambang Sudibyo, Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan dan Wapres Jusuf Kalla pun dipersilakan maju ke depan untuk menyampaikan satu patah dua patah kata.
Sebelum nantinya memukul gong, sebagai penutupan secara simbolis, kuliah singkat tersebut.
Mereka bertiga kemudian bergantian menyampaikan rasa terima kasihnya kepada tiga dosen tamu tersebut.
Sambil bergantian memberi petuah yang intinya sama: agar para mahasiswa memahami isi kuliah tersebut, mengambil esensinya yang begitu berharga, sebagai pijakan untuk kehidupan dan masa depan para mahasiswa sendiri.
Seorang mahasiswa berdiri.
"Maaf bapak-bapak terhormat.
Kalo benar bapak setuju dengan esensinya pak Lippi, Pak Zidane dan Pak Elizondo, lalu mengapa itu tidak keliatan dr pemikiran dan perilaku Anda bertiga ya?"
Kelas bergemuruh.
"Kebijakan Mendiknas mengadakan Ujian Nasional sama sekali tidak menghargai kerja keras anak-anak sepanjang tahun.
Hanya dalam sehari kerja keras setahun hilang begitu saja.
Hidup matinya seseorang bisa dibalik semudah membalik kertas.
Lihatlah Pak Zidane.
Kesalahannya di partai final, tidak memupus kerja kerasnya sepanjang turnamen.
Dia masih tetap terpilih sebagai Pemain terbaik World Cup 2006.
Ucapan Bapak Wapres yang mau menjadikan janda-janda di daerah puncak menjalankan kawin kontrak supaya menarik wisatawan TimTeng, sangat-sangat tidak memanusiakan manusia.
Pemerintah tak mau kerja keras menyediakan mereka lapangan kerja, dan lebih memilih cara instant dengan melacurkan mereka.
Pemerintah tak menganggap mereka manusia, karena bukan saja tak berusaha meningkatkan skill mereka, tapi juga justru memarjinalkan mental mereka.
Keputusan Pak Ketua MA yang tidak mau datang sebagai saksi di pengadilan Tipikor tidak menggambarkan keadilan.
Merasa dirinya sebagai Dewa yang tak tersentuh.
Boro-boro dikartumerah, diperiksapun tak mau.
Sebaliknya Pak Ketua MA malah "memanusiakan" hakim dengan cara menerbitkan peraturan MA yang membolehkan hakim menerima pemberian..."
Kelas hening.
Semua orang manggut-manggut.
mahasiswa tadi maju ke depan, mengambil pemukul gong.
"Pelajaran sudah selesai..."
GOOOOONGGGGG!!!!!
Jumat, 26 Maret 2010
SIAP
Seorang teman ngomentarin keparnoan gue gara-gara ngeliat di berita tentang anak umur 6 tahun yang jatoh 4 lantai ke bawah di ITC Mega Grosir—ada rekaman CCTV-nya pula!!
Kata temen gue:
“Semua orang harus udah siap ngadepin kematian dirinya maupun kematian keluarganya, toh someday semua orang pasti ngadepin itu. Itu juga yang saya ajarkan ke anak2 saya dari sekarang, kalo-kalo someday mereka harus kehilangan saya”
Exact wordsnya yang temen gue omongin, gue lupa sih, tapi kira2 “something like that” lah.
Salut banget.
Boro-boro ngajarin orang lain, nyiapin diri aja kadang-kadang gue sulit.
Boro-boro nyiapin soal kematian, soal yang lebih remeh aja kadang gue gak sanggup.
Di minggu yang sama, seorang sahabat gue baru kehilangan Bapaknya.
Beliau terserang stroke, dan dalam dua minggu kondisinya terus ngedrop dan akhirnya meninggal. Padahal sebelum-sebelumnya beliau sehat-sehat aja.
“Kaget juga sih, Her”
“Iyalah, Win…mana ada sih orang yang siap ngadepin kayak begini…”
Betul, saat ngucapin itu gue gak mikir apa-apa, kecuali memang berniat membesarkan hati seorang sobat.
Tapi abis itu gue mikir juga, terus kapan ya orang itu bisa siap?
Siap untuk kejadian apapun, lho ya…bukan cuman kematian.
(Tapi emang biasanya orang lebih gak siap menghadapi kejadian yang sifatnya “negatif”--perlu tanda petik untuk pre-emptive adanya debat soal value negatif dan positif he he )
Terus apa dong yang bisa bikin kita siap?
Apakah dengan tauk bahwa sebuah kejadian PASTI akan TERJADI, maka kita harus udah siap, seperti kata temen gue di awal tulisan?
Kadang pas lagi bawa motor, gue suka gak SIAP berhadapan dengan angkot nyelonong tiba tiba nyalip belok kiri-- meski gue dah tau yang kayak gini PASTI TERJADI, karena para sopir angkot itu pada buta rambu lalu lintas!
Kadang gue masih suka gak SIAP ngeliat timnas PSSI ditekuk sama timnas negara lain, padahal itu udah jadi kisah klasik yang PASTI TERJADI di sebuah timnas yang diketuai sama mantan koruptor dan ketua Komisi Disiplinnya ditengarai terima suap!
Kadang gue masih suka gak SIAP kalo ada tagihan dateng, padahal udah jelas itu PASTI TERJADI lha wong namanya aja tagihan bulanan!
Kadang gue masih suka gak SIAP liat rakyat diinjek-injek, didzolimi, ditembak, padahal di negara yang kata guru gue jaman SD adalah negara hukum ini, kejadian kayak gini PASTI TERJADI sehari-hari!
Kadang gue masih suka gak SIAP liat bajingan-bajingan yang dulu bersimbah darah rakyat, sekarang tampil kembali jadi pemimpin-pemimpin alim siap nggerogoti negeri lagi, padahal jelas-jelas itu PASTI TERJADI dari generasi ke generasi!
Makanya gak habis kekaguman gue sama orang-orang yang siap dengan the worst scenario dari kehidupan,
dan bahkan membalikkannya jadi happy ending…
* Dedicated to Sandy & Rara; Peradaban manusia mencintai kalian….
Kata temen gue:
“Semua orang harus udah siap ngadepin kematian dirinya maupun kematian keluarganya, toh someday semua orang pasti ngadepin itu. Itu juga yang saya ajarkan ke anak2 saya dari sekarang, kalo-kalo someday mereka harus kehilangan saya”
Exact wordsnya yang temen gue omongin, gue lupa sih, tapi kira2 “something like that” lah.
Salut banget.
Boro-boro ngajarin orang lain, nyiapin diri aja kadang-kadang gue sulit.
Boro-boro nyiapin soal kematian, soal yang lebih remeh aja kadang gue gak sanggup.
Di minggu yang sama, seorang sahabat gue baru kehilangan Bapaknya.
Beliau terserang stroke, dan dalam dua minggu kondisinya terus ngedrop dan akhirnya meninggal. Padahal sebelum-sebelumnya beliau sehat-sehat aja.
“Kaget juga sih, Her”
“Iyalah, Win…mana ada sih orang yang siap ngadepin kayak begini…”
Betul, saat ngucapin itu gue gak mikir apa-apa, kecuali memang berniat membesarkan hati seorang sobat.
Tapi abis itu gue mikir juga, terus kapan ya orang itu bisa siap?
Siap untuk kejadian apapun, lho ya…bukan cuman kematian.
(Tapi emang biasanya orang lebih gak siap menghadapi kejadian yang sifatnya “negatif”--perlu tanda petik untuk pre-emptive adanya debat soal value negatif dan positif he he )
Terus apa dong yang bisa bikin kita siap?
Apakah dengan tauk bahwa sebuah kejadian PASTI akan TERJADI, maka kita harus udah siap, seperti kata temen gue di awal tulisan?
Kadang pas lagi bawa motor, gue suka gak SIAP berhadapan dengan angkot nyelonong tiba tiba nyalip belok kiri-- meski gue dah tau yang kayak gini PASTI TERJADI, karena para sopir angkot itu pada buta rambu lalu lintas!
Kadang gue masih suka gak SIAP ngeliat timnas PSSI ditekuk sama timnas negara lain, padahal itu udah jadi kisah klasik yang PASTI TERJADI di sebuah timnas yang diketuai sama mantan koruptor dan ketua Komisi Disiplinnya ditengarai terima suap!
Kadang gue masih suka gak SIAP kalo ada tagihan dateng, padahal udah jelas itu PASTI TERJADI lha wong namanya aja tagihan bulanan!
Kadang gue masih suka gak SIAP liat rakyat diinjek-injek, didzolimi, ditembak, padahal di negara yang kata guru gue jaman SD adalah negara hukum ini, kejadian kayak gini PASTI TERJADI sehari-hari!
Kadang gue masih suka gak SIAP liat bajingan-bajingan yang dulu bersimbah darah rakyat, sekarang tampil kembali jadi pemimpin-pemimpin alim siap nggerogoti negeri lagi, padahal jelas-jelas itu PASTI TERJADI dari generasi ke generasi!
Makanya gak habis kekaguman gue sama orang-orang yang siap dengan the worst scenario dari kehidupan,
dan bahkan membalikkannya jadi happy ending…
* Dedicated to Sandy & Rara; Peradaban manusia mencintai kalian….
Tersita
Pernah gak sih ngalamin suatu saat di mana elo tiba-tiba seperti harus tarik nafas sejenak, noleh ke belakang, dan tiba-tiba sadar begitu banyak hal di belakang yang lo lewatin begitu aja tanpa sempat lo cermatin?
Yep.
Kalo gue bawa motor, sering banget itu kejadian.
Biasanya kalo pikiran gue lagi ke mana-mana.
Tiba-tiba aja blank dan…
"anjrit! Kok gue dah sampe rumah aja!?? Tadi lewat mana ya???"
Malah Verra –temen baik sekaligus "saudara kembar" gue—pernah cerita, dia sering banget baru kelar mandi dan lagi andukan, …dan tauk-tauk:
"eh gue dah sabunan blom ya barusan?" =))
Di kasus Verra ini si emang agak berbau tolol dan "fak yu tu" sih, tapi gue yakin masalah utamanya bukan itu.
Tapi masalah ketersitaan.
Ya.
Saat2 kayak gitu biasanya Mind, Body, dan Soul kita lagi tersita.
Jadi yang ada cuma gerak refleks dan otomatis ngejalanin sebuah aktivitas.
Ada yang tersita karena kerjaan, ada yang tersita masalah rumah tangga, ada yang karena putus sama pacar, ada yang masalah keuangan, atau malah kombinasi dari itu semua.
Macem-macemlah.
Tapi biasanya ada satu titik di mana kita "bangun" dan sadar bahwa kita udah sampe situ dan coba nginget-nginget lagi apa yang barusan kita lewatin. Dan biasanya titik itu adalah menjelang kita sampai di tujuan akhir sebuah aktivitas.
Kayak dalam 2 contoh kasus di atas, ya pas gue mau sampe rumah atau pas Verra mau kelar mandi.
Tujuan akhir.
Mungkin itulah makanya banyak orang di jaman sekarang yang gak pernah "bangun", karena mungkin mereka lupa apa tujuan akhir saat mereka memulai sebuah hal.
Dan hari ini kejadian itu juga menimpa gue.
Tauk-tauk gue udah di sebuah titik di mana banyak kejadian yang udah gue lewatin tanpa sadar.
Ngelewatin Kehilangan seseorang yang paling gue sayanginkarena Leukimia. (semoga Damai Kau di sana, aku cinta padamu)
Ngelewatin tahun baruan di Lombok.
Ngelewatin sebuah anniversary bertombak tajam.
Ngelewatin resignation Ronny teman setia gue selama 3 tahun lebih.
Ngelewatin momen di mana Ade (Khemonk) --sahabat gue dari kecil-- kehilangan nyokapnya (yang tenang di sana ya, Mah…)
Ngelewatin hari kasih sayang di sebuah pantry kosong. (Valentine??? Jijay lo, 'Her!)
Ngelewatin hari di mana sahabat gua dari kecil Ebby Married.
..dan entah apa lagi yang gue lewatin.
Mungkin karena gue tersita oleh Pro Evolution Soccer, ISCI, atau Facebook.com.
Mungkin "shabu", "candu", atau "kupu-kupu"
Mungkin Wulan, Zizah, dan Yanti..atau mungkin malah Cinta Laura?
Entahlah.
Tapi apapun itu yang menyita gue.
Gue beruntung masih punya tujuan akhir yang rajin "mbangunin" gue, utk kemudian
nginget-inget lagi apa yang udah gue lewatin.
Sebuah tujuan akhir bernama Keluarga…
Time seemed to pass me by
I found myself alone wondering why
You came into my life
And gave your love to me
- Stryper ~ I Believe in You (1988)
Yep.
Kalo gue bawa motor, sering banget itu kejadian.
Biasanya kalo pikiran gue lagi ke mana-mana.
Tiba-tiba aja blank dan…
"anjrit! Kok gue dah sampe rumah aja!?? Tadi lewat mana ya???"
Malah Verra –temen baik sekaligus "saudara kembar" gue—pernah cerita, dia sering banget baru kelar mandi dan lagi andukan, …dan tauk-tauk:
"eh gue dah sabunan blom ya barusan?" =))
Di kasus Verra ini si emang agak berbau tolol dan "fak yu tu" sih, tapi gue yakin masalah utamanya bukan itu.
Tapi masalah ketersitaan.
Ya.
Saat2 kayak gitu biasanya Mind, Body, dan Soul kita lagi tersita.
Jadi yang ada cuma gerak refleks dan otomatis ngejalanin sebuah aktivitas.
Ada yang tersita karena kerjaan, ada yang tersita masalah rumah tangga, ada yang karena putus sama pacar, ada yang masalah keuangan, atau malah kombinasi dari itu semua.
Macem-macemlah.
Tapi biasanya ada satu titik di mana kita "bangun" dan sadar bahwa kita udah sampe situ dan coba nginget-nginget lagi apa yang barusan kita lewatin. Dan biasanya titik itu adalah menjelang kita sampai di tujuan akhir sebuah aktivitas.
Kayak dalam 2 contoh kasus di atas, ya pas gue mau sampe rumah atau pas Verra mau kelar mandi.
Tujuan akhir.
Mungkin itulah makanya banyak orang di jaman sekarang yang gak pernah "bangun", karena mungkin mereka lupa apa tujuan akhir saat mereka memulai sebuah hal.
Dan hari ini kejadian itu juga menimpa gue.
Tauk-tauk gue udah di sebuah titik di mana banyak kejadian yang udah gue lewatin tanpa sadar.
Ngelewatin Kehilangan seseorang yang paling gue sayanginkarena Leukimia. (semoga Damai Kau di sana, aku cinta padamu)
Ngelewatin tahun baruan di Lombok.
Ngelewatin sebuah anniversary bertombak tajam.
Ngelewatin resignation Ronny teman setia gue selama 3 tahun lebih.
Ngelewatin momen di mana Ade (Khemonk) --sahabat gue dari kecil-- kehilangan nyokapnya (yang tenang di sana ya, Mah…)
Ngelewatin hari kasih sayang di sebuah pantry kosong. (Valentine??? Jijay lo, 'Her!)
Ngelewatin hari di mana sahabat gua dari kecil Ebby Married.
..dan entah apa lagi yang gue lewatin.
Mungkin karena gue tersita oleh Pro Evolution Soccer, ISCI, atau Facebook.com.
Mungkin "shabu", "candu", atau "kupu-kupu"
Mungkin Wulan, Zizah, dan Yanti..atau mungkin malah Cinta Laura?
Entahlah.
Tapi apapun itu yang menyita gue.
Gue beruntung masih punya tujuan akhir yang rajin "mbangunin" gue, utk kemudian
nginget-inget lagi apa yang udah gue lewatin.
Sebuah tujuan akhir bernama Keluarga…
Time seemed to pass me by
I found myself alone wondering why
You came into my life
And gave your love to me
- Stryper ~ I Believe in You (1988)
Rabu, 24 Maret 2010
Dedikasi Dunia
Steve “The Crocodile Hunter” Irwin meninggal disengat ikan pari!
Entah kenapa saat pertama denger kabar itu gak ada kekagetan sedikitpun di hati gue. Mungkin sama gak kagetnya ketika dulu denger Ayrton Senna meninggal karena nabrak tembok pembatas Imola.
Buat gue rasanya, memang lebih pantes mereka meninggal dengan cara seperti itu.
Kecintaan mereka yang besar terhadap dunia mereka masing-masing, rasanya bakal jadi unhappy ending kalo mereka gak meninggal di dalam dunianya itu.
Bayangin kalo Irwin meninggal gara-gara kakinya canthengan.
Atau misalnya Senna tewas diserempet Bajaj.
Kayak kata banci-banci: “AGAK KURANG, YAAAAAAAAAAA!!???”
Tapi beda banget.
Dada gue sesak waktu denger beberapa pemulung meninggal gara-gara kelongsoran sampah di bantargebang.
Bener.
Sampah memang dunia mereka.
Tapi denger mereka meninggal di ”dunia mereka” kok rasanya perih yah.
Atau pas denger mahasiswa IKIP Makassar mati ditusuk preman di kampusnya gara-gara demo. Preman yang disewa rektor sebagai tenaga kemanan partikelir.
Anjrit, rasanya tusukannya berasa di ulu hati gue.
Atau pas denger sopir buldozer pembuat tanggul buat mencegah lumpur lapindo kelindes buldozernya sendiri.
Duh Gusti…
Kenapa gue belum pernah denger, koruptor mati kekenyangan harta korupsinya?
Kenapa gue belum pernah liat birokrat kotor mati jatuh kepleset kotorannya sendiri?
Kenapa gue belom pernah …
(Anak-anak: AH SUTRALAH Herrrrr!!!!)
Kata siapa dunia itu gak adil?
Buktinya Steve Irwin, Ayrton Senna, Pemulung Bantar Gebang, Sopir Buldozer Lapindo, Mahasiswa IKIP, semua punya kesempatan buat meninggal di dunia mereka….
Tapi, Her ..
AH SUTRALAH, JOOOOO!!!
Entah kenapa saat pertama denger kabar itu gak ada kekagetan sedikitpun di hati gue. Mungkin sama gak kagetnya ketika dulu denger Ayrton Senna meninggal karena nabrak tembok pembatas Imola.
Buat gue rasanya, memang lebih pantes mereka meninggal dengan cara seperti itu.
Kecintaan mereka yang besar terhadap dunia mereka masing-masing, rasanya bakal jadi unhappy ending kalo mereka gak meninggal di dalam dunianya itu.
Bayangin kalo Irwin meninggal gara-gara kakinya canthengan.
Atau misalnya Senna tewas diserempet Bajaj.
Kayak kata banci-banci: “AGAK KURANG, YAAAAAAAAAAA!!???”
Tapi beda banget.
Dada gue sesak waktu denger beberapa pemulung meninggal gara-gara kelongsoran sampah di bantargebang.
Bener.
Sampah memang dunia mereka.
Tapi denger mereka meninggal di ”dunia mereka” kok rasanya perih yah.
Atau pas denger mahasiswa IKIP Makassar mati ditusuk preman di kampusnya gara-gara demo. Preman yang disewa rektor sebagai tenaga kemanan partikelir.
Anjrit, rasanya tusukannya berasa di ulu hati gue.
Atau pas denger sopir buldozer pembuat tanggul buat mencegah lumpur lapindo kelindes buldozernya sendiri.
Duh Gusti…
Kenapa gue belum pernah denger, koruptor mati kekenyangan harta korupsinya?
Kenapa gue belum pernah liat birokrat kotor mati jatuh kepleset kotorannya sendiri?
Kenapa gue belom pernah …
(Anak-anak: AH SUTRALAH Herrrrr!!!!)
Kata siapa dunia itu gak adil?
Buktinya Steve Irwin, Ayrton Senna, Pemulung Bantar Gebang, Sopir Buldozer Lapindo, Mahasiswa IKIP, semua punya kesempatan buat meninggal di dunia mereka….
Tapi, Her ..
AH SUTRALAH, JOOOOO!!!
Semalam Dengan Kenny
Malam ini hujan turun lagi, sama seperti hari kemarin. Setiap malam dingin, setiap malam gak mandi. Habis mau bagaimana lagi, saudara? Kaki kering aja dingin, apalagi kaki basah?
Tidurpun tetap kedinginan. Mimpipun, mimpi dikubur dengan salju. Coba itu, pakai selimutnya. Saya pakai selimut saya. Wahai kawan, selimut saya aja dingin. Selimut apa ini? Mana janji si Abang di Tanah Abang ketika ibu saya beli selimut ini? Katanya bisa jadi hangat kalau ditiduri selimut. Ini malah selimut yang minta dihangatkan sama saya.
Aduh emak, kaki ini mati rasa-pun. Harus digosok berapa lama lagi supaya hangat? Aduh emak, tangan ini dingin kali pun. Harus berapa lama lagi saya jepitkan ke ketek? Aduh emak, ketek saya ikut dingin pun...
Saya ingat Mama. Lagi apa ya dia sekarang? Mungkin duduk di rumah sambil nonton sembari angkat kaki dan jepit rokok di tangan. Pernah saya dan Dian, kakak saya, mau belikan dia asbak yang bentuknya paru-paru. Biar dia liat waktu dia ketuk-ketuk rokok di asbak, dia sedang mengotori paru-paru. Mamak, berhentilah rokoknya. (walaupun saya sebenarnya perokok) Dikumpulin uangnya. Kata Dokter, kalo dihitung-hitung, bisa bikin hotel, Mamak...
“Emang si dokter yang gak ngerokok itu udah punya hotel?”
Saya langsung diam. Pasang headset. Dengar lagu MP3.
Dengar lagu MP3... Seperti sekarang ini... Oh, ini Kenny G.
Itu lagu Kenny G, ya Allah... Si peniup yang Kau ciptakan itu. Masa lupa? Hari sudah malam dan dingin begini, masih aja dia tiup-tiup terompet. Tahun baru rasa-rasanya udah lewat pun.
Saya goyang-goyang kepala gaya metal mendengar lagu-lagunya yang jazzy. Memang kenapa kalau saya lebih suka begitu? Saya joget dangdut kalo denger instrumen Beethoven. Saya melandai-landai kalo denger lagu Navicula. Saya diem aja kalo denger lagu dangdut. Biar dikira orang saya benci lagu dangdut. Huu... lagu kampungan. Lagu gak berkelas. Padahal dalam hati saya menjerit suka. Kalo judul lagu Rossa “Atas Nama Cinta”, kalau saya “Atas Nama Gengsi dan Nama Baik Keluarga”.
Ah, nggak. Semua saya Cuma bercanda.
Mata saya kedap-kedip. Makin lama, ketika sedang sesi merem saat berkedip, sulit sekali untuk kembali melek. Ah, saya matikan lampu, matikan Kenny, minta ditiduri selimut, tutup mata dan baca do’a.
“Ya Allah, tidur malam ini jangan lupa pake kaos kaki. Jangan seperti saya ini yang gak pake. Maklum Tuhan, kaos kaki hanya tinggal sebelah...”
Tidurpun tetap kedinginan. Mimpipun, mimpi dikubur dengan salju. Coba itu, pakai selimutnya. Saya pakai selimut saya. Wahai kawan, selimut saya aja dingin. Selimut apa ini? Mana janji si Abang di Tanah Abang ketika ibu saya beli selimut ini? Katanya bisa jadi hangat kalau ditiduri selimut. Ini malah selimut yang minta dihangatkan sama saya.
Aduh emak, kaki ini mati rasa-pun. Harus digosok berapa lama lagi supaya hangat? Aduh emak, tangan ini dingin kali pun. Harus berapa lama lagi saya jepitkan ke ketek? Aduh emak, ketek saya ikut dingin pun...
Saya ingat Mama. Lagi apa ya dia sekarang? Mungkin duduk di rumah sambil nonton sembari angkat kaki dan jepit rokok di tangan. Pernah saya dan Dian, kakak saya, mau belikan dia asbak yang bentuknya paru-paru. Biar dia liat waktu dia ketuk-ketuk rokok di asbak, dia sedang mengotori paru-paru. Mamak, berhentilah rokoknya. (walaupun saya sebenarnya perokok) Dikumpulin uangnya. Kata Dokter, kalo dihitung-hitung, bisa bikin hotel, Mamak...
“Emang si dokter yang gak ngerokok itu udah punya hotel?”
Saya langsung diam. Pasang headset. Dengar lagu MP3.
Dengar lagu MP3... Seperti sekarang ini... Oh, ini Kenny G.
Itu lagu Kenny G, ya Allah... Si peniup yang Kau ciptakan itu. Masa lupa? Hari sudah malam dan dingin begini, masih aja dia tiup-tiup terompet. Tahun baru rasa-rasanya udah lewat pun.
Saya goyang-goyang kepala gaya metal mendengar lagu-lagunya yang jazzy. Memang kenapa kalau saya lebih suka begitu? Saya joget dangdut kalo denger instrumen Beethoven. Saya melandai-landai kalo denger lagu Navicula. Saya diem aja kalo denger lagu dangdut. Biar dikira orang saya benci lagu dangdut. Huu... lagu kampungan. Lagu gak berkelas. Padahal dalam hati saya menjerit suka. Kalo judul lagu Rossa “Atas Nama Cinta”, kalau saya “Atas Nama Gengsi dan Nama Baik Keluarga”.
Ah, nggak. Semua saya Cuma bercanda.
Mata saya kedap-kedip. Makin lama, ketika sedang sesi merem saat berkedip, sulit sekali untuk kembali melek. Ah, saya matikan lampu, matikan Kenny, minta ditiduri selimut, tutup mata dan baca do’a.
“Ya Allah, tidur malam ini jangan lupa pake kaos kaki. Jangan seperti saya ini yang gak pake. Maklum Tuhan, kaos kaki hanya tinggal sebelah...”
Minggu, 21 Maret 2010
Cinta Di Hati Kami
dulu dalam hati ini ada cinta
sebesar gajah lampung, terbirit menuju kampung
menangisi hutan sekarat, mati kami
hati kami tak ada cinta lagi, terjual
jadi kursi dan teka teki
cinta kami telah terganti, dendam dan sakit hati
jalan kampung tak beraspal, listrik selalu padam
kepada dada siapa kami bersandar
hingga kasur jadi tanah
menuai mimpi kami
sebesar gajah lampung, terbirit menuju kampung
menangisi hutan sekarat, mati kami
hati kami tak ada cinta lagi, terjual
jadi kursi dan teka teki
cinta kami telah terganti, dendam dan sakit hati
jalan kampung tak beraspal, listrik selalu padam
kepada dada siapa kami bersandar
hingga kasur jadi tanah
menuai mimpi kami
Sabtu, 13 Maret 2010
Beban.
Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Steven Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr.
"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya. " kata Covey.
"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."
"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey.
"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi".
Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada di pundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi......
Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di relung hati kita.
"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya. " kata Covey.
"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."
"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey.
"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi".
Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok. Apapun beban yang ada di pundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi......
Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di relung hati kita.
Senin, 08 Maret 2010
Surat Untuk-Mu.
ALLAH, hari ini telah 4.40 WIB. Kau panggil aku berkali-kali lewat adzan untuk menyolatkan subuh. Hatiku tergerak, mencari celana panjang dan sajadah. Namun tak kutemukan.
Aku diam dan bingung. Bolehkah aku tidak memakainya? Haruskah kulanjutkan niatku untuk-Mu?
“Lebih baik sholat daripada engkau tidur” ucap Adzan.
Kucari akar saat rotan tak berguna.
Kutemukan sarung, jaket, dan sprei. Kukenakan sarung dan jaket untuk menutupi tubuhku, dan kulebarkan sprei sebagai alas sholatku.
Ya Allah, terimalah niat dan sholatku juga hatiku untuk-Mu.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakaatuh…
Aku diam dan bingung. Bolehkah aku tidak memakainya? Haruskah kulanjutkan niatku untuk-Mu?
“Lebih baik sholat daripada engkau tidur” ucap Adzan.
Kucari akar saat rotan tak berguna.
Kutemukan sarung, jaket, dan sprei. Kukenakan sarung dan jaket untuk menutupi tubuhku, dan kulebarkan sprei sebagai alas sholatku.
Ya Allah, terimalah niat dan sholatku juga hatiku untuk-Mu.
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakaatuh…
Langganan:
Postingan (Atom)