Selamat Malam.
Malam ini gak ada kembang api.
Malam ini gak ada tahun baru.
Karena memang gak ada lagi tahun lama.
Di titik ini, adalah titik nol.
Awal dari sebuah kehidupan.
Gak usah tanya sama mereka.
Mereka lebih tahu itu.
Jeweran itu bukan buat mereka.
Mereka semua justru beruntung
kepilih untuk lebih cepet lepas dari kefanaan.
Supaya gak keseret lebih jauh di kegelapan.
Jeweran itu buat kita.
Yang masih doyan pesta pora.
Yang masih pegang teguh sebuah semboyan:
"Muda foya-foya, tua kaya raya, mati (pengennya) masuk surga."
Selamat malam kawan-kawan
Selamat mengawali kehidupan
Dapet salam dari hati nurani...
Kamar depan, Pisangan
020112
mengelus. elus. menghela
Herry Yusuf's Blog
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat datang kepada siapa saja dan 'apa saja' yang telah singgah atau cuma 'nyasar' di tempat ini. Hanyalah sedikit yang bisa dituangkan bagi yang sempat membaca. Sedikit yang bisa diberi untuk yang memerlukan. Dan semoga bermanfaat. Terima kasih atas kunjungannya. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Senin, 02 Januari 2012
Kamis, 17 November 2011
(Tak) Ada Badut
Siapa badut itu?
Berbuntut panjang dan bertanduk,
berkalung ular dan bertombak trisula.
Dari awal kupu-kupu hinggap di ujung mulut,
dia sudah di sana.
Mataku memicing coba kenalinya,
tapi riasan tebalnya halangi mataku.
Dia antara ada dan tiada.
Kadang melotot, kadang tertunduk,
sesekali punggungiku.
Gemerlap pasar malam,
dengan deretan lampu-lampunya,
dan lalu lalang pengunjung,
sering butakan sejenak.
Buatku semakin susah kenalinya.
Kakiku melangkah digerakkan rasa penasaran.
Dia hanya menatapku lurus.
Semakin dekat semakin kuterbelalak.
Ia ikut membelalakkan matanya.
Nafasku semakin memburu.
Berbuntut panjang dan bertanduk,
berkalung ular dan bertombak trisula.
Dari awal kupu-kupu hinggap di ujung mulut,
dia sudah di sana.
Mataku memicing coba kenalinya,
tapi riasan tebalnya halangi mataku.
Dia antara ada dan tiada.
Kadang melotot, kadang tertunduk,
sesekali punggungiku.
Gemerlap pasar malam,
dengan deretan lampu-lampunya,
dan lalu lalang pengunjung,
sering butakan sejenak.
Buatku semakin susah kenalinya.
Kakiku melangkah digerakkan rasa penasaran.
Dia hanya menatapku lurus.
Semakin dekat semakin kuterbelalak.
Ia ikut membelalakkan matanya.
Nafasku semakin memburu.
Senin, 11 Juli 2011
SATU MULUT, DUA TELINGA
Kemarin gue membaca sebuah berita luar biasa di salah satu surat kabar. Para ilmuwan Inggris telah berhasil menggunakan teknologi audio tercanggih untuk mendengarkan perbincangan para semut (Obbie Mesakh pasti tersenyum sangat lebar membaca berita ini!).
Ya. Jeremy Thomas (seorang ilmuwan dari Oxford, bukan bintang sinetron Indonesia), menggunakan speaker dan microphone mini super sensitif untuk merekam suara ratu semut. Ternyata sesaat setelah rekaman suara tersebut diputar di dalam sarangnya, gerombolan semut yang mendengarkan langsung terdiam dalam posisi siap menyerang musuh. Ia pun mengambil kesimpulan bahwa suara ratu tersebut merupakan sebuah teriakan perintah untuk siaga.
Dengan penelitian yang lebih lanjut, Bapak Thomas percaya bahwa manusia dapat mempelajari kosa kata dan tata bahasa para semut.
Saat membaca berita menakjubkan ini, ada satu pertanyaan yang langsung terlintas di kepala bodoh gue; apa gunanya mempelajari bahasa semut?
Selain atas nama kegemaran manusia untuk selalu nguping perbincangan orang (atau mahluk) lain, serta kebutuhan ilmu pengetahuan yang senantiasa mencari fakta dari semua hal yang ada di sekelilingnya, adakah kegunaan praktis dari penelitian ini buat hidup kita?
Gue mulai berandai-andai...
Mungkinkah suatu saat nanti kita bisa beradu argumen secara baik-baik dengan para semut yang selama ini mengganggu lemari makan kita, hingga mereka bisa pergi dengan sukarela? Bisakah suatu ketika nanti kita memohon bantuan koloni mahluk kecil ini untuk melakukan operasi semut (dalam arti kata sebenarnya) demi membersihkan kota Jakarta yang semakin hari semakin kotor? Dapatkah suatu hari nanti kita berbincang dan menggunakan keahlian para semut untuk mendeteksi penyakit gula dari air seni yang ada di toilet kita? Atau jangan-jangan di masa depan nanti kita bisa memerintahkan para semut untuk berperang melawan mahluk menyebalkan bernama... tetangga sebelah rumah!
Ok. Khayalan gue mulai berlebihan dan semakin tidak penting. Tapi sumpah, gue belum melihat keuntungan maksimal dari kemampuan manusia untuk mendengarkan suara dan bahasa para semut (selain untuk membuktikan pada pencipta lagu 'Semut-Semut Kecil' bahwa suara semut bukanlah oeeek oeek!).
Gue rasa satu-satunya kegunaan artikel ini adalah untuk meyakinkan kita, bahwa dalam hal 'mendengar', manusia memang punya prioritas yang sangat mencengangkan.
Bayangkan saja, di saat teknologi canggih sudah memungkinkan kita untuk dapat mendengarkan suara semut, sebagian besar dari kita masih belum punya kemampuan untuk bisa mendengarkan suara sesama manusia.
How weird is that?
Tentu saja yang gue maksud dengan 'mendengar' di sini adalah lebih dari sekedar kemampuan indera untuk menangkap suara, melainkan mendengar dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Mendengar, mengerti, memahami, bersimpati, berempati, dan semacamnya.
Dari sebuah perbincangan dengan seorang teman yang lebih bijaksana, gue mendapatkan fakta bahwa banyak konflik antar manusia terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak tidak punya kemampuan atau kemauan untuk 'mendengar'. Padahal menjadi good listener adalah salah satu kunci terpenting dalam menjalin komunikasi yang baik (kunci penting yang ternyata sungguh sulit untuk dilakukan!).
Jika Anda ketik 'art of listening' di salah satu search engine, siapkan diri Anda untuk menemukan begitu banyak artikel, buku, quotes, atau materi lain yang membahas tentang bagaimana caranya untuk menjadi pendengar yang baik.
Ada seni mendengar dalam rumah tangga, public speaking, marketing, negosiasi, sosialisasi, bahkan meditasi. Dan nyaris semua tulisan tersebut berusaha menekankan bahwa seni mendengar jauh lebih sulit dikuasai daripada seni berbicara.
Teman gue yang bijaksana tadi juga pernah berkata; "Mungkin sebenarnya manusia diciptakan untuk lebih banyak mendengar ketimbang berbicara, karena itu kita diberi satu mulut dan dua telinga."
Ok, kita bisa berdebat panjang tentang kalimat ini (Salah satunya adalah argumen bahwa dua telinga diciptakan semata untuk urusan estetika serta kebutuhan balancing dan stereonya suara yang kita dengar, lagipula jika hanya diberi satu telinga, harus diletakkan di mana? Di tengah dahikah? Aneh sekali kalau kita harus mendekatkan jidat ke mulut lawan bicara saat ingin mendengar dengan lebih jelas..), tapi satu hal yang sungguh gue setujui, akan ada banyak sekali masalah di dunia ini yang bisa diselesaikan dengan baik jika manusia punya kemampuan prima untuk dapat mendengarkan manusia lainnya.
Karena itu benar-benar menyedihkan sekali, bahwa di koran yang memuat artikel tentang keberhasilan manusia mendengarkan suara semut, ada satu artikel lain yang menggambarkan hilangnya nyawa seorang manusia akibat ulah sekelompok orang yang berteriak onar ketika merasa suara mereka tidak didengar.
Duh..
Minggu, 19 Juni 2011
HIDUP
Di penghujung hari, pada awal terbitnya bulan baru, apa yang terbersit di benakmu saat tubuhmu membentuk bujur horisontal di pembaringan?
Gaji yang sekadar mampir di rekening. Berbagai cicilan yang tak kunjung lunas. Gesekan kartu kredit untuk membeli segelintir kesenangan yang berakhir pada tumpukan hutang di bank.
Alkohol di atas 5% yang digelontorkan bersama tawa, celoteh, kadang air mata. Pengusir penat sesaat yang akan dimuntahkan beberapa jam setelah kegembiraan usai.
Pertengkaran dengan kekasih. Dia yang perlahan namun pasti berubah menjadi orang asing. Dia yang dulu sangat kau cinta namun kini tak lagi kau kenali.
Pertanyaan yang tak ada habisnya. Jawaban yang melahirkan kian banyak tanda tanya. Pergulatan dalam batin yang tak pernah menemukan tempat bermuara.
Keinginan yang muncul silih berganti. Impian yang terpelihara tanpa pernah mewujud. Harapan yang timbul tenggelam. Cita-cita yang mengambang lemah, mengais kekuatan untuk bertahan karena kita belum mau menyerah.
Tak jauh dari kau dan aku, ada mereka yang terlelap tanpa alas. Jempol yang dihinggapi lalat tak mampu mengusik nyenyaknya tidur. Saat kau dan aku menyuapkan makanan yang sepiringnya bisa memberi makan mereka berhari-hari, mereka mengais rezeki dari lampu merah dan jalanan. Saat kau dan aku berdansa di bawah siraman lampu warna-warni, mereka bergelut dengan debu dan keringat.
Aku tak tahu apakah mereka masih punya cita-cita. Mimpi barangkali cuma jadi bunga tidur yang tak pernah berani diangankan. Cita-cita barangkali sudah terkubur dalam-dalam bersama tanah dan debu yang mereka injak setiap hari.
Aku tak tahu akan jadi apa mereka besok. Namun satu yang kutahu.
Terik yang mendera kulit, lapar yang mengiris perut dan kepapaan yang menggerus raga tak membuat jiwa mereka kekurangan cahaya untuk melihat apa yang luput kita sadari.

Hidup.
Gaji yang sekadar mampir di rekening. Berbagai cicilan yang tak kunjung lunas. Gesekan kartu kredit untuk membeli segelintir kesenangan yang berakhir pada tumpukan hutang di bank.
Alkohol di atas 5% yang digelontorkan bersama tawa, celoteh, kadang air mata. Pengusir penat sesaat yang akan dimuntahkan beberapa jam setelah kegembiraan usai.
Pertengkaran dengan kekasih. Dia yang perlahan namun pasti berubah menjadi orang asing. Dia yang dulu sangat kau cinta namun kini tak lagi kau kenali.
Pertanyaan yang tak ada habisnya. Jawaban yang melahirkan kian banyak tanda tanya. Pergulatan dalam batin yang tak pernah menemukan tempat bermuara.
Keinginan yang muncul silih berganti. Impian yang terpelihara tanpa pernah mewujud. Harapan yang timbul tenggelam. Cita-cita yang mengambang lemah, mengais kekuatan untuk bertahan karena kita belum mau menyerah.
Tak jauh dari kau dan aku, ada mereka yang terlelap tanpa alas. Jempol yang dihinggapi lalat tak mampu mengusik nyenyaknya tidur. Saat kau dan aku menyuapkan makanan yang sepiringnya bisa memberi makan mereka berhari-hari, mereka mengais rezeki dari lampu merah dan jalanan. Saat kau dan aku berdansa di bawah siraman lampu warna-warni, mereka bergelut dengan debu dan keringat.
Aku tak tahu apakah mereka masih punya cita-cita. Mimpi barangkali cuma jadi bunga tidur yang tak pernah berani diangankan. Cita-cita barangkali sudah terkubur dalam-dalam bersama tanah dan debu yang mereka injak setiap hari.
Aku tak tahu akan jadi apa mereka besok. Namun satu yang kutahu.
Terik yang mendera kulit, lapar yang mengiris perut dan kepapaan yang menggerus raga tak membuat jiwa mereka kekurangan cahaya untuk melihat apa yang luput kita sadari.

Hidup.
Selasa, 01 Februari 2011
ASING
Malang sekali sebenarnya bule-bule di negara kita ini.
Mereka selalu disebut "orang asing".
Padahal mereka gak pernah terasingkan atau diasingkan.
Mungkin sesekali mereka ngerasa asing di tanah melayu ini.
Tapi apa iya mereka diasingkan?
Apa iya bule-bule yang konduite di kantornya jelek bakal diasingkan ke Indonesia?
Kalo bener gitu sih.. yang malang justru negeri kita...
Nusantara-kambangan kah nama negeri ini?
Terus apa?
Salah kaprah kah idiom itu?
Apa bedanya dengan kesalahan kaprah kita nyebut "bule"?
Yang seharusnya milik orang albino tak berpigmen.
Mungkin memang salah.
Sesalah terselipnya perasaan asing di tengah teman-teman lama.
Terdiam sesaat, di saat mereka semua tertawa.
Tertawa sejenak, di saat mereka berhenti.
Tercenung sesekali, di saat mereka tak bereaksi.
satu-satu tertatap muka mereka
masih orang-orang yang sama
dengan lawakan-lawakan lama
kebangsatan-kebangsatan usang
yang terus-terusan diulang
di tengah keasingan
nusakambangan anggotanya...
apa kabar kawan?
entah siapa yang menyapa...
dedicated to anak-anak
diam. asing. sendiri.
Mereka selalu disebut "orang asing".
Padahal mereka gak pernah terasingkan atau diasingkan.
Mungkin sesekali mereka ngerasa asing di tanah melayu ini.
Tapi apa iya mereka diasingkan?
Apa iya bule-bule yang konduite di kantornya jelek bakal diasingkan ke Indonesia?
Kalo bener gitu sih.. yang malang justru negeri kita...
Nusantara-kambangan kah nama negeri ini?
Terus apa?
Salah kaprah kah idiom itu?
Apa bedanya dengan kesalahan kaprah kita nyebut "bule"?
Yang seharusnya milik orang albino tak berpigmen.
Mungkin memang salah.
Sesalah terselipnya perasaan asing di tengah teman-teman lama.
Terdiam sesaat, di saat mereka semua tertawa.
Tertawa sejenak, di saat mereka berhenti.
Tercenung sesekali, di saat mereka tak bereaksi.
satu-satu tertatap muka mereka
masih orang-orang yang sama
dengan lawakan-lawakan lama
kebangsatan-kebangsatan usang
yang terus-terusan diulang
di tengah keasingan
nusakambangan anggotanya...
apa kabar kawan?
entah siapa yang menyapa...
dedicated to anak-anak
diam. asing. sendiri.
Senin, 20 Desember 2010
10 Things I Learn About Me
Saya tidak bisa menyenangkan semua orang, namun melihat orang lain terluka akibat perbuatan saya adalah sesuatu yang menyakitkan.
Menyakiti orang lain, apa pun alasannya, sama saja dengan menyakiti diri sendiri. Dan pada akhirnya, diri sendirilah yang paling menderita.
Kebahagiaan bukan untuk dicari. Ia datang dan pergi dengan sendirinya.
Sekuat apa pun saya berusaha mempertahankan sesuatu, ia akan pergi jika sudah waktunya.
Saya bisa lari menjauhi apa pun di dunia, kecuali diri saya sendiri.
Penghakiman terbesar tidak datang dari orang lain, melainkan diri sendiri.
Kejujuran dan meminta maaf bukan sesuatu yang sulit, dan ia menyembuhkan.
Berdamai dengan diri sendiri jauh lebih penting ketimbang bersahabat dengan seisi dunia.
Saya rindu diri saya yang lama. Yang polos, bodoh dan tidak menghakimi dunia.
Ya, saya tersesat. Saya ingin pulang.
Selasa, 14 Desember 2010
PINCANG
Aku tanya siang mengapa kau terang?
Dia tetap diam membisu
Lalu ku pergi berjalan di teriknya matahari
Kurasa telapak kaki basah berkeringat
Kurasa sebagian kulit perih terbakar
Kurasa pupil mata ini mengecil silau
Kudiam dibawah rindang pohon
Tak terasa matahari sudah tenggelam
Kupandang langit perkasa diatas
Warnanya merah menyala
Tak seberapa lama gelap menerjang
Malam telah datang bersahutan ribuan kelelawar
Aku sendiri dibawah pohon ini berselimut jutaan bintang
Kepiting yang berbaris memandang penuh curiga
Aku tanya malam kenapa kau gelap?
Dan dia juga membisu
Mulutku terbuka tanpa suara
Terdiam
Terpukau
Terpesona
Dan perlahan hati ini berkata....
Aku malu...
Dia tetap diam membisu
Lalu ku pergi berjalan di teriknya matahari
Kurasa telapak kaki basah berkeringat
Kurasa sebagian kulit perih terbakar
Kurasa pupil mata ini mengecil silau
Kudiam dibawah rindang pohon
Tak terasa matahari sudah tenggelam
Kupandang langit perkasa diatas
Warnanya merah menyala
Tak seberapa lama gelap menerjang
Malam telah datang bersahutan ribuan kelelawar
Aku sendiri dibawah pohon ini berselimut jutaan bintang
Kepiting yang berbaris memandang penuh curiga
Aku tanya malam kenapa kau gelap?
Dan dia juga membisu
Mulutku terbuka tanpa suara
Terdiam
Terpukau
Terpesona
Dan perlahan hati ini berkata....
Aku malu...
Minggu, 28 November 2010
Kamu Jonimu
Entah kenapa, berita itu tiba-tiba terlintas lagi di otak—meskipun udah basi.
TOTET? UMROH?
Gila.. Dua kata itu kayaknya gak layak bersandingan deh!
Masih lebih layak nyandingin Charles dengan Camilla Parker, Jose Mourinho dengan Premiership, Tony Blair dengan George Wacky Bush, atau bahkan Aburizal Bakrie dengan Badut Ancol ! Karena mereka semua itu bener-bener mengisi satu sama lain.
Tapi, Totet dengan Umroh!!??
Buat gue ngebayangin hal itu adalah pekerjaan yang sangat susah!
Sesusah ngebayangin orang se-awam dan secantik Mariana Renata, fasih ngucapin istilah “proyeksionis” di film JANJI JONI. –istilah yang amat sangat langka diucapin orang awam di kehidupan nyata.
(Kenapa Joko Anwar gak suruh dia ngomong “Tukang Puter Film di Bioskop” aja sihhh???)
Tapi sebenernya apa sih susahnya?
Toh gak ada satu halpun di dunia ini yang mustahil…
Nyandingin Mulyana W. Kusumah dengan suap aja sekarang pun bisa kok...
Apalagi nyandingin Kepala BKPM ama Preman JIS!
Belum lagi nyandingin FPI sama graphic house!!!
Wong Habib-nya udah bisa bikinin logo buat kaset, jee…
(jangan2 FPI itu singkatan Freehand-Photoshop-Illustrator ????)
Toh Totet kan cuma seorang aktor di sebuah film berjudul KEHIDUPAN.
Yang memainkan adegan dari roll film ke roll film berikutnya.
Yang Maha di Atas adalah sutradaranya.
Dan Joni si pengantar roll adalah Totet sendiri.
Terserah dia, mau sampai bagian mana kisah itu diputer…
Setiap orang berhak menjadi Joni-nya sendiri.
Gak tergantung orang lain cuman untuk nuntasin ending film tentangnya.
Gak tergantung orang lain buat ngisi film dengan roll-roll miliknya.
Ini film tentangmu.
Ini roll film-mu.
Jadilah Joni-mu.
Layaknya seorang Herry,
yang memutuskan untuk mengisi hari sabtu itu dengan roll-roll film berisi adegan:
- Winning Eleven sepagi-siangan
- Nemenin Boss maen Tennis,
- Bawa Nyokap berobat ke klinik bu Medi,
- Cekikikan nonton Janji Joni
apa roll film berikutmu, Her?
apa roll film berikutmu, Tet?
---
Terinspirasi oleh film bagus berjudul Janji Joni, keuletan Nyokap dengan Kerja-nya, dan kemabukan anak-anak eks lapangan depan di Blowfish, yang tetap sama ngangeninnya.. =)
TOTET? UMROH?
Gila.. Dua kata itu kayaknya gak layak bersandingan deh!
Masih lebih layak nyandingin Charles dengan Camilla Parker, Jose Mourinho dengan Premiership, Tony Blair dengan George Wacky Bush, atau bahkan Aburizal Bakrie dengan Badut Ancol ! Karena mereka semua itu bener-bener mengisi satu sama lain.
Tapi, Totet dengan Umroh!!??
Buat gue ngebayangin hal itu adalah pekerjaan yang sangat susah!
Sesusah ngebayangin orang se-awam dan secantik Mariana Renata, fasih ngucapin istilah “proyeksionis” di film JANJI JONI. –istilah yang amat sangat langka diucapin orang awam di kehidupan nyata.
(Kenapa Joko Anwar gak suruh dia ngomong “Tukang Puter Film di Bioskop” aja sihhh???)
Tapi sebenernya apa sih susahnya?
Toh gak ada satu halpun di dunia ini yang mustahil…
Nyandingin Mulyana W. Kusumah dengan suap aja sekarang pun bisa kok...
Apalagi nyandingin Kepala BKPM ama Preman JIS!
Belum lagi nyandingin FPI sama graphic house!!!
Wong Habib-nya udah bisa bikinin logo buat kaset, jee…
(jangan2 FPI itu singkatan Freehand-Photoshop-Illustrator ????)
Toh Totet kan cuma seorang aktor di sebuah film berjudul KEHIDUPAN.
Yang memainkan adegan dari roll film ke roll film berikutnya.
Yang Maha di Atas adalah sutradaranya.
Dan Joni si pengantar roll adalah Totet sendiri.
Terserah dia, mau sampai bagian mana kisah itu diputer…
Setiap orang berhak menjadi Joni-nya sendiri.
Gak tergantung orang lain cuman untuk nuntasin ending film tentangnya.
Gak tergantung orang lain buat ngisi film dengan roll-roll miliknya.
Ini film tentangmu.
Ini roll film-mu.
Jadilah Joni-mu.
Layaknya seorang Herry,
yang memutuskan untuk mengisi hari sabtu itu dengan roll-roll film berisi adegan:
- Winning Eleven sepagi-siangan
- Nemenin Boss maen Tennis,
- Bawa Nyokap berobat ke klinik bu Medi,
- Cekikikan nonton Janji Joni
apa roll film berikutmu, Her?
apa roll film berikutmu, Tet?
---
Terinspirasi oleh film bagus berjudul Janji Joni, keuletan Nyokap dengan Kerja-nya, dan kemabukan anak-anak eks lapangan depan di Blowfish, yang tetap sama ngangeninnya.. =)
Selasa, 23 November 2010
Bertanya (tentang) Cinta
Kau tanya padaku apa itu cinta.
Aku termenung
Tak sepatah pun keluar dari bibirku.
“Cinta itu apa?”
Pertanyaan yang sama sudah kuulang entah berapa ribu kali kepada diriku sendiri, dan aku masih tak paham.
Adakah ia desir-desir aneh yang merambati hatimu saat kau lihat pujaanmu berdiri tak jauh darimu?
Adakah ia getar-getar geli yang membuat harimu jadi indah ketika mendengarnya menyebut namamu?
Adakah ia bahagia yang mengusikmu dan memunculkan senyum di wajahmu yang biasa kelabu?
Adakah ia air mata yang menyusuri lekuk pipimu saat rindu menyerang, pertengkaran melahirkan gundah dan perpisahan terucap?
Adakah ia semburat panas di dadamu ketika melihatnya bersama orang lain dan bahagia tanpamu?
Adakah ia amarah yang tak bisa kau jelaskan, seribu perasaan yang tak bisa kau gambarkan dan jutaan cahaya dalam matamu saat kalian bertatapan?
Adakah ia hitam, putih, warna-warni?
Kenalkah ia pada dosa, pahamkah ia akan tabu, pedulikah ia akan benar-salah?
Entahlah.
Kau jelas bertanya pada orang yang salah, karena bahkan sufi dan pujangga gagal merangkum maknanya.
Yang kutahu cuma, ia hadir sewajar hembusan udara pagi, lenyap seperti embun di siang hari, mengalir ke mana pun ia suka. Tanpa bisa diperintah. Tanpa bisa dicangkangi. Dan kita terhanyut-hanyut di dalamnya tanpa pernah berhasil merumuskan artinya.
Yang kutahu cuma, cinta tak membiarkanmu memilih jiwa. Namun kau bisa memutuskan untuk memberangusnya atau membiarkannya tumbuh, menjaganya dengan hatimu.
Dan aku tahu ia tak pernah berjanji. Bahagia, gembira, gelisah, getir, sedih, amarah, semua bisa hadir tanpa sanggup kau pilah.
“Jadi, apa itu cinta?” desakmu.
Diam adalah jawabanku.
Bukan karena angkuh namun sungguh tak paham
Puluhan tahun usiaku dan aku masih gagap mendefinisikan cinta.
Namun inilah yang bisa kukatakan kepadamu:
Barangkali cinta tak perlu ditanyakan
Alamilah sendiri. Biarkan ia menjemputmu dan kau akan tahu.
Minggu, 07 November 2010
Cambuk
Dalam perjalanan, aku melihat seorang lelaki menyeret keluar sesosok makhluk dari dalam kandang. Keempat kakinya dirantai, sehingga pendek-pendek langkahnya. Makhluk itu besar dan tampak kuat, namun sekujur tubuhnya dipenuhi luka. Darah merembes dan mengering di bulu-bulunya, menciptakan duri-duri kecil yang lengket.
Aku tidak berani mendekat. Dia tampak menyedihkan. Luka-lukanya seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh. Makhluk itu memandangku, menyadari kehadiranku. Aku mendapati diriku mundur selangkah dan mengambil ancang-ancang untuk lari. Namun ia hanya memandangiku sesaat, sebelum meraung keras.
Aku terkesiap. Belum lagi hilang kagetku, setitik darah jatuh di punggung tanganku. Lelaki itu baru saja menciptakan luka baru di tubuhnya. Cambuk itu kini bernoda darah.
Aku gemetar. Cambuk apa yang bisa melukai separah itu?
“Hentikan.” Susah payah aku bicara.
Lelaki itu bahkan tidak menoleh. “Dia harus dihukum. Dia telah gagal.”
Cambuk kembali mendarat dengan bunyi ‘plak’ keras. Bulu romaku bangkit ketika makhluk itu kembali meraung.
“Kau menyiksanya!” Aku memekik.
“Tidak,” lelaki itu menjawab tenang, “Aku melatihnya. Setiap cambukan mengajarinya sesuatu. Setiap cambukan membuatnya bertambah kuat. Setiap cambukan akan membuatnya berterima kasih padaku kelak.”
Ia pasti melihat kedua tanganku mengepal, karena ia memberiku isyarat untuk mendekat.
“Kemari dan lihatlah sendiri. Dia bertambah kuat.”
Aku menggerakkan kakiku yang gemetar. Menghampiri makhluk yang kini berdiri tidak bergerak. Mengamati darah yang menetes-netes dari luka barunya.
Si lelaki mengacungkan cambuknya, menunjuk garis merah tua di punggung makhluk itu. Bilur yang baru akan sembuh.
“Setiap luka menciptakan parut tebal yang melindungi dirinya dari serangan badai, cuaca dingin, sengatan matahari, dan cakar makhluk lain. Kau lihat, aku melakukan yang terbaik untuknya.”
“Kau gila.”
“Tidak,” lelaki itu tersenyum menatapku, “Aku tahu yang kulakukan. Mungkin kau harus belajar dariku, Anak Muda.”
Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Kutelusuri bulu-bulu kasar makhluk itu dengan telapak tangan. Kusentuh darah lengket yang menyatukan bulu-bulunya, merasakan cairan hangat yang amis mengalir melalui jari-jariku.
Aku bergerak maju. Mendekati kepala makhluk itu. Ia bergeming. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat. Mata kami bertemu.
Aku terhenyak.
Aku menjerit.
Aku meraung.
Kesadaranku lumpuh. Tungkai kakiku kehilangan kemampuan menopang. Aku terbanting ke tanah. Debu beterbangan. Sakit yang hebat menderaku sampai ke sum-sum.
Aku mengerang.
Aku meronta.
Aku merintih.
Hewan itu bergeming.
Ia tidak melakukan apa pun. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat.
Ketika pandangan kami bertemu, ketika matanya menyambut mataku, aku tahu,
Akulah makhluk itu.
*****
Maafkan saya, Herry, atas penderitaan yang saya timbulkan karena menuntutmu untuk
sempurna
cerdas
bijaksana
terstruktur
berbakti
mendedikasikan hidup
tunduk
taat
patuh
normal
menjadi 'baik-baik saja'
berpasangan di usia sekian
memiliki kondisi hidup tertentu
memiliki suasana hati tertentu
memiliki sekian rupiah
menyenangkan orang lain
bersimpati pada penderitaan orang
bersukacita atas kebahagiaan orang
bertahan pada satu titik spiritual
terus mengalami peningkatan
terus menulis
kreatif
eksis/dikenal
sehat
dicintai
diprioritaskan
diterima
dihargai
menjaga perasaan orang
setia pada norma sosial
jadi juara
meneladani orang lain
meredam emosi
bertindak hati-hati
meyakini sesuatu
setia
berperforma maksimal
bekerja keras
memiliki keluarga ‘normal’
menjadi sama dengan orang lain
meraih mimpi
menguasai konsep spiritual tertentu
berbuat baik
beramal
tersenyum
tertawa
berbasa-basi
merasa aman
percaya diri
teratur
bersih
rapi
mendapat pencerahan
merasa lega
merasa nyaman
berhemat
diperhatikan
diperlakukan istimewa
diberi
dipuji
diperlakukan baik
menolong
menyelamatkan
bertanggung jawab
berbuat sesuatu demi orang lain
tidak merepotkan orang lain
tidak mengatakan ‘tidak’
mencapai target
tidak melekat dengan apa pun
berwawasan luas
bersosialisasi
berdisiplin
bahagia
benar
dewasa
bersikap sopan
menjaga sikap
berlaku adil
berkorban
menyukai orang lain
melepas ekspektasi
menemukan jalan keluar
memecahkan masalah
sembuh
lebih banyak memberi
mencapai sesuatu
berhasil/sukses
kuat
tidak menangis
produktif
rajin
tekun
pantang menyerah
bebas konflik batin
bebas masalah
meringankan beban orang lain
menerima apa adanya
bertumbuh
mencari nafkah
memiliki status sosial tertentu
ikhlas
pasrah
menjadi anak yang dibanggakan
menjadi kakak teladan
menjadi teman yang baik
menjadi pekerja yang budiman
menjadi penulis yang menginspirasi
menemukan cinta
memiliki semangat
membalas budi
menjalani rutinitas
memprioritaskan orang lain
sependapat
stabil
bertenggang rasa
menepati janji
tidak berubah
konsisten
sembuh
waras
masuk akal
...dan banyak lagi.
Maaf atas segala luka yang saya timbulkan ketika saya mengharuskanmu menjadi seperti yang saya inginkan. Maafkan saya karena telah menderamu. Maafkan saya karena berpikir tahu yang terbaik bagimu, sedang kamu sudah begitu lama kesakitan.
Maafkan saya karena tidak menghapus airmatamu saat kamu mengaduh dan mengeluh. Maaf atas segala persyaratan yang saya tetapkan hanya untuk bisa menerimamu. Maaf karena telah mencintaimu dengan segudang harap dan pinta.
Beri saya kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kali ini apa adanya.
Dengan penuh cinta,
Dirimu Sendiri
Aku tidak berani mendekat. Dia tampak menyedihkan. Luka-lukanya seperti tidak pernah diberi kesempatan untuk sembuh. Makhluk itu memandangku, menyadari kehadiranku. Aku mendapati diriku mundur selangkah dan mengambil ancang-ancang untuk lari. Namun ia hanya memandangiku sesaat, sebelum meraung keras.
Aku terkesiap. Belum lagi hilang kagetku, setitik darah jatuh di punggung tanganku. Lelaki itu baru saja menciptakan luka baru di tubuhnya. Cambuk itu kini bernoda darah.
Aku gemetar. Cambuk apa yang bisa melukai separah itu?
“Hentikan.” Susah payah aku bicara.
Lelaki itu bahkan tidak menoleh. “Dia harus dihukum. Dia telah gagal.”
Cambuk kembali mendarat dengan bunyi ‘plak’ keras. Bulu romaku bangkit ketika makhluk itu kembali meraung.
“Kau menyiksanya!” Aku memekik.
“Tidak,” lelaki itu menjawab tenang, “Aku melatihnya. Setiap cambukan mengajarinya sesuatu. Setiap cambukan membuatnya bertambah kuat. Setiap cambukan akan membuatnya berterima kasih padaku kelak.”
Ia pasti melihat kedua tanganku mengepal, karena ia memberiku isyarat untuk mendekat.
“Kemari dan lihatlah sendiri. Dia bertambah kuat.”
Aku menggerakkan kakiku yang gemetar. Menghampiri makhluk yang kini berdiri tidak bergerak. Mengamati darah yang menetes-netes dari luka barunya.
Si lelaki mengacungkan cambuknya, menunjuk garis merah tua di punggung makhluk itu. Bilur yang baru akan sembuh.
“Setiap luka menciptakan parut tebal yang melindungi dirinya dari serangan badai, cuaca dingin, sengatan matahari, dan cakar makhluk lain. Kau lihat, aku melakukan yang terbaik untuknya.”
“Kau gila.”
“Tidak,” lelaki itu tersenyum menatapku, “Aku tahu yang kulakukan. Mungkin kau harus belajar dariku, Anak Muda.”
Aku tidak mengindahkan kata-katanya. Kutelusuri bulu-bulu kasar makhluk itu dengan telapak tangan. Kusentuh darah lengket yang menyatukan bulu-bulunya, merasakan cairan hangat yang amis mengalir melalui jari-jariku.
Aku bergerak maju. Mendekati kepala makhluk itu. Ia bergeming. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat. Mata kami bertemu.
Aku terhenyak.
Aku menjerit.
Aku meraung.
Kesadaranku lumpuh. Tungkai kakiku kehilangan kemampuan menopang. Aku terbanting ke tanah. Debu beterbangan. Sakit yang hebat menderaku sampai ke sum-sum.
Aku mengerang.
Aku meronta.
Aku merintih.
Hewan itu bergeming.
Ia tidak melakukan apa pun. Hanya sepasang mata kuningnya menatapku lekat.
Ketika pandangan kami bertemu, ketika matanya menyambut mataku, aku tahu,
Akulah makhluk itu.
*****
Maafkan saya, Herry, atas penderitaan yang saya timbulkan karena menuntutmu untuk
sempurna
cerdas
bijaksana
terstruktur
berbakti
mendedikasikan hidup
tunduk
taat
patuh
normal
menjadi 'baik-baik saja'
berpasangan di usia sekian
memiliki kondisi hidup tertentu
memiliki suasana hati tertentu
memiliki sekian rupiah
menyenangkan orang lain
bersimpati pada penderitaan orang
bersukacita atas kebahagiaan orang
bertahan pada satu titik spiritual
terus mengalami peningkatan
terus menulis
kreatif
eksis/dikenal
sehat
dicintai
diprioritaskan
diterima
dihargai
menjaga perasaan orang
setia pada norma sosial
jadi juara
meneladani orang lain
meredam emosi
bertindak hati-hati
meyakini sesuatu
setia
berperforma maksimal
bekerja keras
memiliki keluarga ‘normal’
menjadi sama dengan orang lain
meraih mimpi
menguasai konsep spiritual tertentu
berbuat baik
beramal
tersenyum
tertawa
berbasa-basi
merasa aman
percaya diri
teratur
bersih
rapi
mendapat pencerahan
merasa lega
merasa nyaman
berhemat
diperhatikan
diperlakukan istimewa
diberi
dipuji
diperlakukan baik
menolong
menyelamatkan
bertanggung jawab
berbuat sesuatu demi orang lain
tidak merepotkan orang lain
tidak mengatakan ‘tidak’
mencapai target
tidak melekat dengan apa pun
berwawasan luas
bersosialisasi
berdisiplin
bahagia
benar
dewasa
bersikap sopan
menjaga sikap
berlaku adil
berkorban
menyukai orang lain
melepas ekspektasi
menemukan jalan keluar
memecahkan masalah
sembuh
lebih banyak memberi
mencapai sesuatu
berhasil/sukses
kuat
tidak menangis
produktif
rajin
tekun
pantang menyerah
bebas konflik batin
bebas masalah
meringankan beban orang lain
menerima apa adanya
bertumbuh
mencari nafkah
memiliki status sosial tertentu
ikhlas
pasrah
menjadi anak yang dibanggakan
menjadi kakak teladan
menjadi teman yang baik
menjadi pekerja yang budiman
menjadi penulis yang menginspirasi
menemukan cinta
memiliki semangat
membalas budi
menjalani rutinitas
memprioritaskan orang lain
sependapat
stabil
bertenggang rasa
menepati janji
tidak berubah
konsisten
sembuh
waras
masuk akal
...dan banyak lagi.
Maaf atas segala luka yang saya timbulkan ketika saya mengharuskanmu menjadi seperti yang saya inginkan. Maafkan saya karena telah menderamu. Maafkan saya karena berpikir tahu yang terbaik bagimu, sedang kamu sudah begitu lama kesakitan.
Maafkan saya karena tidak menghapus airmatamu saat kamu mengaduh dan mengeluh. Maaf atas segala persyaratan yang saya tetapkan hanya untuk bisa menerimamu. Maaf karena telah mencintaimu dengan segudang harap dan pinta.
Beri saya kesempatan untuk mencintaimu lagi. Kali ini apa adanya.
Dengan penuh cinta,
Dirimu Sendiri
Jumat, 29 Oktober 2010
IMAN
Khotbah jum'at tanggal 15 Oktober 2010. Masjid Baitu Ula.
Khotib: Ustadz DR. Asep usman ismail.
Kau
ungkapan cinta
mengendap dalam cangkang hatiku
sebagai penentu
pada ikatan langkah
menuju induk segala tujuan
Kau bara apiku
menyala dipuncak pengetahuanku
disumbu yang satu
pada minyak yang padu
menjadi suluh menuju-Mu
Kau detak nadiku, nafas dalam inginku
menjaga ruku' dan khusyu'
penggerak sujud dan tuma'ninah-ku
Kau waktu dan ruang, siang dan malam, jalan tengahku
tawar
hambar
datar
penenang limbungku
penyeimbang bingungku
menghantar ke-terang-Mu
221010
Khotib: Ustadz DR. Asep usman ismail.
Kau
ungkapan cinta
mengendap dalam cangkang hatiku
sebagai penentu
pada ikatan langkah
menuju induk segala tujuan
Kau bara apiku
menyala dipuncak pengetahuanku
disumbu yang satu
pada minyak yang padu
menjadi suluh menuju-Mu
Kau detak nadiku, nafas dalam inginku
menjaga ruku' dan khusyu'
penggerak sujud dan tuma'ninah-ku
Kau waktu dan ruang, siang dan malam, jalan tengahku
tawar
hambar
datar
penenang limbungku
penyeimbang bingungku
menghantar ke-terang-Mu
221010
Selasa, 26 Oktober 2010
Wajah Jakarta
Wajah Jakarta adalah bocah-bocah yang hilir mudik memainkan kecrekan sambil menempelkan wajah di jendela mobil pada suatu siang yang panas terik, sementara tak jauh dari situ seorang bayi kurus menggeliat dalam gendongan seorang perempuan di perempatan lampu merah.
Wajah Jakarta adalah tongkat bergagang besi yang mengoreki tempat sampah semen. Pemiliknya adalah pemulung yang harap-harap cemas berebut rezeki dengan kucing gendut, tikus got dan lalat.
Wajah Jakarta adalah aroma menyengat di bantaran sungai yang berbatasan dengan tempat pembuangan sampah dan rumah-rumah berdinding papan. Bila kau pasang telingamu baik-baik, dapat kau dengar dari dalam isakan bocah perempuan yang sudah dua hari panas demam.
Wajah Jakarta adalah pisau dingin berkarat yang dipakai menakut-nakuti pelajar berseragam dan wanita berkalung emas di angkutan kota. Sebuah pelajaran berharga bisa kau petik dari sana: jangan menaruh HP di saku celana, jangan memakai perhiasan di dalam bis, dan simpan dompetmu jauh-jauh di tempat yang tak terogoh.
Wajah Jakarta adalah pengamen yang bernyanyi sumbang di bis oranye sambil menadahkan kantung bekas keripik dan preman yang menadahkan tangan minta uang dengan paksa. Pelajaran berharga kedua: selalu siapkan recehan lebih dari cukup. Kita tak pernah tahu.
Wajah Jakarta adalah kelelahan yang menggurat wajah seorang laki-laki berkemeja lengan panjang dengan map berisi surat lamaran kerja yang mulai lecek setelah ditenteng seharian. Di rumah, anak-istrinya menunggu dengan penuh harap. Hari ini Ayah pasti pulang bawa rejeki.
Wajah Jakarta adalah letusan kembang api yang gegap-gempita membelah angkasa dan bisa kau saksikan dari jarak belasan kilometer pada malam pergantian tahun, yang kata tetangga sebelah, “Nggak mahal kok, delapan juta aja.”
Wajah Jakarta adalah jendela-jendela mobil yang kacanya dihitamkan sehingga mustahil untuk sekadar diintip. Hawa di dalam situ tak pernah segarang terik matahari. Udaranya sejuk dan selalu wangi parfum, dan selalu tersedia air mineral penangkal dahaga jika kau haus.
Wajah Jakarta adalah bocah-bocah berseragam yang menenteng telepon genggam dan permainan elektronik, sementara pengasuhnya berjalan di belakang membawakan tas sekolah, botol minum, dan kotak bekal makanan.
Wajah Jakarta adalah remaja belasan tahun bergaya Harajuku yang sakunya terisi kartu kredit warisan orang tua dan Blackberry seri terkini yang baru saja di-upgrade. Dan jangan lupakan Louis Vuitton KW-1 yang sesekali mereka tenteng dalam gaya yang berbeda.
Wajah Jakarta adalah butik berskala internasional yang dengan mudah kau temui di pusat perbelanjaan raksasa, yang menempelkan label puluhan hingga ratusan juta pada sebuah tas cantik dari kulit.
Wajah Jakarta adalah langkah tergesa kaki-kaki yang dibungkus sepatu berhak tinggi dan pantofel berkilap yang bersanding dengan tangan-tangan menengadah di jembatan penyeberangan.
Wajah Jakarta adalah gemerlap lampu warna-warni yang berpendar diiringi musik menghentak dan cairan merah di gelas-gelas kristal dalam geliat malam yang masih muda.
Wajah Jakarta adalah anak laki-laki berbaju kusam yang menatap iri saat kita bergandengan tangan menyusuri trotoar di sebuah malam minggu sambil makan es krim. Wajah Jakarta adalah senyumnya yang terkembang saat kau gandeng tangan mungilnya ke abang penjual es dan mempersilakannya memilih rasa yang ia suka.
Wajah Jakarta adalah pengemis berkaki buntung yang tak henti-henti mengucapkan terima kasih saat kau cemplungkan selembar ribuan ke gelas plastiknya. Dalam syukurnya ada doa agar panjang umurmu selalu.
Wajah Jakarta adalah anggukan tulus pedagang kaki lima saat kau bayarkan sejumlah rupiah sebagai penglaris jualannya pagi ini tanpa minta kembalian.
Tahukah kau apa yang terlintas di benakku hari ini, saat memandangi Jakarta dan pencakar-pencakar langitnya dari kaca gedung bertingkat tempat kita menghabiskan sembilan jam dalam sehari?
Jakarta sesungguhnya tak pernah miskin. Ia hanya lupa menoleh pada yang terpinggir.
Tinggi pohon tinggi berderet setia lindungi
Hijau rumput hijau tersebar indah sekali
Terasa damai kehidupan di kampungku
Kokok ayam bangunkan ku tidur setiap pagi
Tinggi gedung tinggi mewah angkuh bikin iri
Gubuk gubuk liar yang resah di pinggir kali
Terlihat jelas kepincangan kota ini
Tangis bocah lapar bangunkan ku dari mimpi malam
Lihat dan dengarlah riuh lagu dalam pesta
Diatas derita mereka masih bisa tertawa
Memang ku akui kejamnya kota Jakarta
Namun yang kusaksikan lebih parah dari yang kusangka
Jakarta oh Jakarta
Si kaya bertambah gila dengan harta kekayaannya
Luka si miskin semakin menganga
Jakarta oh Jakarta
Terimalah suaraku dalam kebisinganmu
Kencang teriakku semakin menghilang
Jakarta oh Jakarta
Kau tampar siapa saja saudaraku yang lemah
Manjakan mereka yang hidup dalam kemewahan
Jakarta oh Jakarta
Angkuhmu buahkan tanya
Bisu dalam kekontrasannya
Jakarta oh Jakarta
Jakarta oh Jakarta
Hijau rumput hijau tersebar indah sekali
Terasa damai kehidupan di kampungku
Kokok ayam bangunkan ku tidur setiap pagi
Tinggi gedung tinggi mewah angkuh bikin iri
Gubuk gubuk liar yang resah di pinggir kali
Terlihat jelas kepincangan kota ini
Tangis bocah lapar bangunkan ku dari mimpi malam
Lihat dan dengarlah riuh lagu dalam pesta
Diatas derita mereka masih bisa tertawa
Memang ku akui kejamnya kota Jakarta
Namun yang kusaksikan lebih parah dari yang kusangka
Jakarta oh Jakarta
Si kaya bertambah gila dengan harta kekayaannya
Luka si miskin semakin menganga
Jakarta oh Jakarta
Terimalah suaraku dalam kebisinganmu
Kencang teriakku semakin menghilang
Jakarta oh Jakarta
Kau tampar siapa saja saudaraku yang lemah
Manjakan mereka yang hidup dalam kemewahan
Jakarta oh Jakarta
Angkuhmu buahkan tanya
Bisu dalam kekontrasannya
Jakarta oh Jakarta
Jakarta oh Jakarta
( Kontrasmu Bisu - Iwan Fals )
(suatu siang, dalam keramaian sebuah Pusat perbelanjaan di jantung ibukota)
Senin, 25 Oktober 2010
Diri
Aku kehidupan yang punya nama, nyawa dan cangkang, dan di kesemuanya engkau tinggal.
Aku kebenaran yang tak perlu dibela; tudungmu siang-malam dari segala tuduhan dan cerca.
Aku ibu yang merawatmu, dan bocah dalam jiwamu tahu, aku ada. Rasakan dekapanku. Rasakan hangatku. Rasakan degup jantung yang berpadu kala aku menimangmu.
Aku ayah yang melimpahimu dengan sayang, dadaku tempatmu bernaung, dan kau tak perlu khawatir akan apa pun.
Aku senangmu kala kau susah, bahagiamu saat kau merana, haru yang melarutkan sengsaramu, tawa yang tersimpan di balik tangismu, riang yang melanda hampamu, dan gembira yang kau bawa saat sulit mendera. Kita berdampingan, karena kita dua yang satu adanya.
Aku geming yang meredakan riuh di benakmu, heningmu saat kau merapuh, dan beningmu saat kau mengeruh, luruh dan tandus.
Aku mata yang mengamatimu sejak kau terjaga hingga terlelap. Kerap kau tak tahu aku ada, namun aku tak pernah beranjak. Aku penontonmu yang paling setia.
Aku telinga yang mendengarkan gemuruh, desau dan bisikan setipis udara pagi yang acap luput kau sadari.
Aku tangan yang menggenggammu aman saat kau tersandung, terjungkal, terperosok.
Aku kaki yang menahanmu kala kau tergelincir dan menyokongmu untuk kembali menapak.
Aku tali tempatmu berpegangan meniti jalan di lingkaran, agar kau tak perlu terbanting hancur.
Aku nyanyian yang membelai telingamu dan mengisi rongga dadamu dengan senandung.
Aku mentari yang mencerahkan matamu dan membimbingmu ke jalan cahaya, aku juga sinar yang menuntunmu ke api yang mereka sebut neraka.
Aku sungai yang mengalir di bawah kakimu, dan di sana engkau bercermin.
Aku air yang membebaskan kerongkonganmu dari dahaga dan membuatmu sejuk.
Aku obat kala kau terkapar sakit, dan penyembuh segala lukamu.
Aku jembatan tempatmu menemukan jalan pulang dan dipan tempatmu beristirahat melepas lelah.
Aku daya yang mengusungmu kala kau terkulai, dan tandu bagi jiwamu.
Aku surga tempat Tuhan bersemayam; kau tak perlu pergi jauh untuk menemuiNya.
Aku kekasih yang bercinta denganmu, dan kita terbakar bersama dalam bara.
Aku cinta yang memberimu nafas untuk tetap hidup, dan engkau akan terus ada.
Aku di sini. Tanpa terbelit ruang dan waktu.
Aku, ya, aku
Selamanya bagimu.
~ Gili, 23 Oktober 2010. Bahkan kata-kata tak sanggup mencengkeramnya. ~
Aku kebenaran yang tak perlu dibela; tudungmu siang-malam dari segala tuduhan dan cerca.
Aku ibu yang merawatmu, dan bocah dalam jiwamu tahu, aku ada. Rasakan dekapanku. Rasakan hangatku. Rasakan degup jantung yang berpadu kala aku menimangmu.
Aku ayah yang melimpahimu dengan sayang, dadaku tempatmu bernaung, dan kau tak perlu khawatir akan apa pun.
Aku senangmu kala kau susah, bahagiamu saat kau merana, haru yang melarutkan sengsaramu, tawa yang tersimpan di balik tangismu, riang yang melanda hampamu, dan gembira yang kau bawa saat sulit mendera. Kita berdampingan, karena kita dua yang satu adanya.
Aku geming yang meredakan riuh di benakmu, heningmu saat kau merapuh, dan beningmu saat kau mengeruh, luruh dan tandus.
Aku mata yang mengamatimu sejak kau terjaga hingga terlelap. Kerap kau tak tahu aku ada, namun aku tak pernah beranjak. Aku penontonmu yang paling setia.
Aku telinga yang mendengarkan gemuruh, desau dan bisikan setipis udara pagi yang acap luput kau sadari.
Aku tangan yang menggenggammu aman saat kau tersandung, terjungkal, terperosok.
Aku kaki yang menahanmu kala kau tergelincir dan menyokongmu untuk kembali menapak.
Aku tali tempatmu berpegangan meniti jalan di lingkaran, agar kau tak perlu terbanting hancur.
Aku nyanyian yang membelai telingamu dan mengisi rongga dadamu dengan senandung.
Aku mentari yang mencerahkan matamu dan membimbingmu ke jalan cahaya, aku juga sinar yang menuntunmu ke api yang mereka sebut neraka.
Aku sungai yang mengalir di bawah kakimu, dan di sana engkau bercermin.
Aku air yang membebaskan kerongkonganmu dari dahaga dan membuatmu sejuk.
Aku obat kala kau terkapar sakit, dan penyembuh segala lukamu.
Aku jembatan tempatmu menemukan jalan pulang dan dipan tempatmu beristirahat melepas lelah.
Aku daya yang mengusungmu kala kau terkulai, dan tandu bagi jiwamu.
Aku surga tempat Tuhan bersemayam; kau tak perlu pergi jauh untuk menemuiNya.
Aku kekasih yang bercinta denganmu, dan kita terbakar bersama dalam bara.
Aku cinta yang memberimu nafas untuk tetap hidup, dan engkau akan terus ada.
Aku di sini. Tanpa terbelit ruang dan waktu.
Aku, ya, aku
Selamanya bagimu.
~ Gili, 23 Oktober 2010. Bahkan kata-kata tak sanggup mencengkeramnya. ~
Selasa, 12 Oktober 2010
Pada Satuminggu
Mereka bilang, perpisahan adalah sebuah titik
Bagiku, perpisahan adalah sebuah koma
Yang mengajarku menggurat tanda-tanda lain di kanvas ini
Mereka bilang, perpisahan adalah duka
Bagiku, perpisahan adalah lahirnya jiwa
Ketika sayap yang merapuh kembali menemukan daya
Mereka bilang, perpisahan adalah derita
Bagiku, perpisahan adalah menerima dan memaafkan
Dan dari sana aku belajar mengenal cinta
Mereka bilang, perpisahan adalah akhir
Bagiku, perpisahan merupakan awal
Karena perpisahan mempertemukanku denganmu
Hari ini, genap satu minggu sudah
Kita masih menari, dan kita masih tak tahu
Kemana hidup akan bergulir, kemana hati mengalir
Namun satu hal hatiku tahu
Apa pun yang dihadiahkan hidup pada kita kelak
Perjumpaan denganmu adalah sesuatu yang akan kusyukuri selamanya
~ 13 Oktober 2010, 00:01, Untuk Ruth Mayest Peristi Lesan
Bagiku, perpisahan adalah sebuah koma
Yang mengajarku menggurat tanda-tanda lain di kanvas ini
Mereka bilang, perpisahan adalah duka
Bagiku, perpisahan adalah lahirnya jiwa
Ketika sayap yang merapuh kembali menemukan daya
Mereka bilang, perpisahan adalah derita
Bagiku, perpisahan adalah menerima dan memaafkan
Dan dari sana aku belajar mengenal cinta
Mereka bilang, perpisahan adalah akhir
Bagiku, perpisahan merupakan awal
Karena perpisahan mempertemukanku denganmu
Hari ini, genap satu minggu sudah
Kita masih menari, dan kita masih tak tahu
Kemana hidup akan bergulir, kemana hati mengalir
Namun satu hal hatiku tahu
Apa pun yang dihadiahkan hidup pada kita kelak
Perjumpaan denganmu adalah sesuatu yang akan kusyukuri selamanya
~ 13 Oktober 2010, 00:01, Untuk Ruth Mayest Peristi Lesan
Minggu, 10 Oktober 2010
Bahagia Versi Saya
...adalah ketika saya melihat hidup saya, diri saya, apa adanya, dan menyadari tidak ada sesuatu pun yang ingin saya ubah.
Hidup tidak selalu indah. Tapi ia sempurna. Dan untuk itu, kata yang paling pas barangkali hanya "Terima kasih".
Sungguh, Tuhan. Tidak ada yang lain.
.....
Well, setidaknya untuk saat ini. ;-)
Langganan:
Postingan (Atom)